Petani gurem (petani kecil) di negeri ini setiap tahunnya semakin meningkat. Jumlah terbanyak di Indonesia adalah mereka, namun cuma memiliki tanah yang luasnya di bawah 0,5 hektar. Mengapa?
NARASIBARU.com – 24 September, momentum bagi Hari Tani Nasional. Tahun ini sudah peringatan kali ke-60. Perayaannya disambut aksi unjuk rasa oleh Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sulawesi Selatan (Sulsel). Mereka berkumpul di depan Gedung DPRD Provinsi Sulsel, Jalan Urip Sumohardjo, Kamis (24/9/2020).
Aksi yang diikuti puluhan massa ini merupakan gabungan dari sejumlah organisasi yakni, BEM FE UNM, FMIPA UNM, BEM FBS UNM, HIMA Pend. Sejarah UNM, FMN Makassar, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Sulsel, dan beberapa organisasi lainnya.
Koordinator Aksi, Supianto, dalam orasinya menyampaikan bahwa masalah pokok yang ada di negeri ini adalah monopoli atas tanah. Lahan rakyat, terutama petani, banyak yang dirampas untuk dijadikan perkebunan-perkebunan besar.
“Sudah banyak yang kita lihat berbagai penggusuran, pengrusakan lingkungan, merusak alam, dan sebagainya kawan-kawan!” teriak Supianto.
Ia melanjutkan, bukan hanya di daerah Jawa saja yang sering terjadi penggusuran dan perampasan lahan, di Makassar pun demikian. Contohnya masyarakat di Pulau Kodingareng yang terancam ruang hidupnya karena aktivitas penambangan pasir. Belum lagi kegiatan itu justru difasilitasi pemerintah.
Diatur dalam Perundangan namun Tak Pernah Jadi Prioritas
“Anak nelayan, anak petani tidak akan bisa melanjutkan pendidikannya, ketika wilayah tangkap yang ada di Kodingareng kemudian dirusak oleh proyek tambang pasir laut, yang akan dipakai menimbun laut Makassar sebagai proyek strategis nasional,” kata Supianto.
Ia juga memaparkan bukti nyata perusahaan negara dan swasta yang telah memonopoli tanah rakyat. Katanya, petani gurem (petani kecil) di negeri ini setiap tahunnya semakin meningkat. Jumlah terbanyak di Indonesia adalah mereka namun cuma memiliki tanah yang luasnya di bawah 0,5 hektar.
“Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar milik negara dan swasta menguasai ratusan ribu hingga jutaan hektar tanah di negeri ini. Sedangkan petani kecil yang menjadi mayoritas hanya menguasai di bawah 0,5 hektar. Belum lagi para petani yang tidak bertanah kawan-kawan…. yang dipaksa keluar dari desanya menuju ke kota untuk mencari kehidupan. Karena tanah rakyat yang ada di pedesaan itu sudah digusur,” Supianto melanjutkan.
Nurdin, tim humas pada Aliansi Front Perjuangan Rakyat, menjelaskan hal serupa. Katanya, FPR sampai hari ini telah mengkaji isu ini selama dua minggu terakhir. Salah satu isu penting yang diangkat terkait perwujudan Reforma Agraria sejati.
“Secara nasional, ini (hari tani. Red) sudah yang ke 60 tahun dari 1960. Sejak lahirnya UUPA Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dan sampai hari ini tidak pernah sedikitpun pemerintah berupaya mewujudkan tuntutan rakyat indonesia, ataupun petani yang menjadi mayoritas di negeri ini,” kata Nurdin kepada Narasibaru.com.
Tuntutan-tuntutan
Lebih lanjut, FPR menuntut agar distribusi lahan dibagi secara merata kepada petani. Ia menyampaikan pada tahun 2017, dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Jokowi mengampanyekan tentang Reforma Agraria. Namun, menurut Nurdin dan kawan-kawan, itu adalah Reforma Agraria Palsu.
“Karena pemerintah hanya akan membagikan tanah seluas 9 juta hektar dan tanah tersebut merupakan ex HGU (Hak Guna Usaha). Kami menilai tanah tersebut adalah tanah yang tidak produktif dan luasnya sangat kecil. Selain itu pemerintah melanjutkan legalisasi aset atau bagi-bagi sertifikat bagi petani yang belum mempunyai lahan, tapi yang diberikan bukan tanah terlantar dan hasil sitaan pemerintah. Tanah tersebut sudah digarap puluhan tahun yang dibuatkan sertifikat, itu yang diklaim sama pemerintah,” ucap Nurdin.
Nurdin menambahkan, aksi ini sifatnya hanya kampanye. Front Perjuangan Rakyat tidak meminta dialog kepada para anggota dewan. Ia berharap kepada pemerintah betul-betul serius menyelesaikan masalah ini. Belum lagi subsidi pupuk yang diketahui pada awal 2020 oleh Kementan sudah dibatasi.
“Kami juga berharap agar pemerintah memberi jaminan harga komoditas pertanian. Semua harga komoditas mengalami penurunan di masa pandemi, misal cengkeh yang turun sampai 45 ribu sampai 48 ribu/kg dari harga 70an ribu/kg. Ada teman kami di Enrekang rela membiarkan tanaman berupa, tomat, cabe dan sayuran lain membusuk daripada menjual dengan harga murah,” tuturnya.
Secara keseluruhan, mereka meminta agar perampasan dan monopoli lahan diberhentikan. Selain itu, tidak ada lagi kriminalisasi rakyat, mewujudkan Reforma Agraria Sejati, pembangunan Industrialisasi Nasional, menolak dengan tegas Omnibus Law Cipta Kerja, UKT dan penjabutan UPT. Terakhir, mereka menyatakan menolak Makassar New Port (MNP) dan izin tambang pasir laut di Pulau Kodingareng seharusnya dicabut.
Penulis: Ihsan Ismail
Editor: Dian Kartika