“Pak Gubernur mestinya melihat mata pencaharian warga Kodingareng bertumpu pada hasil laut. Kalau laut dikasih rusak, sama halnya pemerintah membunuh warganya sendiri secara perlahan”.
NARASIBARU.com – Puluhan istri nelayan Kodingareng menggelar aksi damai. Mereka didampingi Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) di depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Jalan Urip Sumohardjo, Selasa (06/10/2020).
Massa aksi menantang Nurdin Abdullah untuk keluar dan turun langsung menghadapi mereka. Menurut Sita, salah satu istri nelayan Kodingareng, aksi ini bertujuan menagih janji Gubernur yang katanya mengundang mereka untuk bertemu. Namun, meski ini merupakan aksi yang ke sekian, Gubernur belum pernah merespon sama sekali.
Padahal, Gubernur acapkali berkoar di media untuk meminta masyarakat Kodingareng datang langsung untuk berdiskusi.
“Masa saya ketemui kalian? Kamu, dong yang temui saya,” ucap Sita, meniru perkataan Gubernur. “Sekalinya kita datang, dia malah bersembunyi. Kalau memang laki-laki, tolong keluar hadapi kami,” lanjutnya.
Sita mengeluhkan tindakan Gubernur cuma bisa bicara di kursi jabatannya. Sementara penambang pasir laut, yang dilakukan PT. Boskalis, diketahui telah mendapat persetujuan resmi pihak pemerintah.
“Sudah berbulan-bulan kami rasakan dampak tambang pasir laut. Untuk apa kami ke sini kalau memang tidak berdampak. Beberapa nelayan sudah tenggelam, kapalnya dibalik dan dikriminalisasi oleh Polairud. Lebih utama itu pak Gubernur, kalau ingin membuat kebijakan di pulau kami, sebisanya undang kami para warga. Karena yang merasakan dampaknya ya tentu kami semua para nelayan, bukan pemerintah,” katanya kepada Narasibaru.com.
Kondisi Laut Berubah, Lahan Hidup Malah Merenggut Nyawa
Menurut Sita, selama ada PT. Boskalis, penghasilan para suami sebagai nelayan hanya Rp 20 ribu. Bahkan nihil. Ombak di sekitar wilayah tangkap nelayan pun semakin besar. Akibatnya, ada nelayan tenggelam yang sampai sekarang tidak ditemukan jasadnya, meskipun telah dilakukan penelusuran di wilayah penambangan pasir.
“Sudah 5 orang juga yang meninggal di situ. Tenggelam karena gelombang besar. Memang biasanya kalau musim (angin. Red) timur itu, ombak sangat besar, tapi tidak sebesar sekarang ini. Sekarang suami kami sama sekali tidak bisa melaut. Keruh di mana-mana”.
Massa aksi meminta kepada Gubernur untuk datang meninjau langsung pulau Kodingareng. Melihat dampak yang ditimbulkan karena aktivitas tambang pasir laut.
“Teruntuk pak Gubernur, kami tantang untuk temui kami. Janjinya kalau sudah ada data kajian dia akan datang. Karena kalau cuma duduk di kursi, dia cuman bilang kondisi laut baik-baik saja. Silakan coba datang ke pulau,” ujar Sita.
Sementara itu, Muhaimin Arsenio selaku koordinator aksi yang juga perwakilan ASP, mengatakan bahwa tujuan aksi ini juga untuk memasukkan surat protes. Mereka menuntut pencabutan dan penghentian sementara ijin tambang wilayah Copong di Galesong Utara.
“Hampir 7 bulan, kegiatan tambang pasir ini bukannya memberi solusi tapi menambah penderitaan masyarakat yang dirasakan di pulau kodingareng. Makanya, berkali-kali kami datang di sini untuk menyampaikan apa yang menjadi keluhan masyarakat. Kami, sebagai aliansi pendamping masyarakat nelayan Kodingareng, akan terus mengawal kasus ini sampai ditemukan titik terang,” kata Muhaimin.
Ia juga meminta Gubernur untuk segera menemui warga. Sejak kemarin, masyarakat meluangkan waktunya untuk bertemu Gubernur, namun sama sekali tak pernah direspon.
“Bukankah warga pulau Kodingareng Lompo merupakan bagian dari warga Sulawesi Selatan? Pak Gubernur mestinya melihat mata pencaharian warga Kodingareng bertumpu pada hasil laut. Kalau laut dikasih rusak, sama halnya pemerintah membunuh warganya sendiri secara perlahan,” lanjut Muhaimin.
Berusaha Disuap dan Dibodohi oleh Pemerintah serta Perusahaan
Berdasarkan keterangan warga, Pemerintah dan perusahaan memang pernah memberikan uang, yang diketahui sebagai bentuk suap kepada masyarakat, agar mereka tidak lagi menolak tambang pasir laut.
“Menurut informasi yang kami terima dari masyarakat, itu adalah bentuk suap yang diberikan kepada masyarakat nelayan, yang diketahui nominalnya Rp 1 juta. Tapi bentuk uang ini tak dijelaskan secara riil kepada masyarakat. Penggunaannya untuk apa dan darimana. Masyarakat hanya dikasih uang, lalu disuruh bertandatangan dan dilarang untuk melakukan aksi. Kalaupun melakukan aksi, maka masyarakat akan ditangkap,” ungkapnya.
Muhaimin menerangkan, uang tersebut diberikan sekitar bulan agustus atau september kemarin. Bersamaan dengan pemberian uang, masyarakat diberi lembaran surat untuk ditandatangani tanpa diperlihatkan isi keterangan dari lembaran tersebut.
“Sekitar 70 warga yang bertandatangan di surat itu. Dari beberapa yang kita wawancara, semuanya mengaku tidak diberi informasi yang jelas terkait uang itu. Ceritanya warga ini dibodoh-bodohi,” katanya.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh beberapa gabungan aliansi, perusahaan tambang pasir bisa meraup keuntungan hingga Rp 365 juta per operasinya. Ini sesuai dengan harga pasir yang dihitung 1 dollar per kubiknya.
“Jadi kalau sehari 3 kali beroperasi, bisa dihitung sendiri berapa keuntungannya,” tutupnya.
Dari pantaun reporter Narasibaru.com, hingga pukul 13.00 Wita, Gubernur tak kunjung keluar untuk menemui massa aksi. Ke manakah ia?
Penulis: Ihsan Ismail
Editor: Dian Kartika