NARASIBARU.com – Kejayaan Industri Film Makassar diharapkan bisa bangkit kembali. Hal ini dipaparkan saat diskusi perfilman pada event “ Ini Bukan Festival” yang diselenggarakan di Etika Studio, Kamis (19/11/2020).
Diskusi yang melibatkan para seniman dan budayawan baik dari dalam dan luar Sulawesi Selatan ini, menghadirkan Syahriar Tato (Ketua Parfi) dan Irwan Azis, seorang Pengamat Film Makassar bertindak sebagai pemateri. Di era sekarang, untuk memproduksi sebuah film sudah relative lebih mudah dilakukan, walaupun hanya bermodalkan kamera digital.
Menurut Syahriar Tato selaku Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi Sulsel), walaupun mudah dilakukan namun belum tentu sesuai dengan kriteria undang-undang.
“Kalau kita melihat definisi film menurut undang-undang, syarat film yang pertama itu, tidak mengandung unsur pornografi, tidak mengandung unsur SARA, kemudian tidak mengandung unsur narkotika,” kata Syahriar Tato.
Untuk melebarkan sayap ke tingkat bioskop, memang begitu rumit dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Sejak dulu, orang India disebutnya sebagai penguasa industri Film di Indonesia.
“Mereka yang berasal dari India (keluarga Punjabi),per filman dikuasai oleh mereka- mereka ini,” lanjutnya.
Pada suatu ketika, sempat ia bersama para sineas lokal melakukan perlawanan terhadap film Dilan. Film tersebut menurutnya sangat bertentangan dengan norma kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Bentuk perlawanan sekarang yang dinilai cukup efektif, salah satunya dengan membuat produksi film sendiri.
“Contohnya dalam film silariang, ada nilai-nilai Siri Na Pacce, dimana budaya ini merupakan simbol besarnya rasa malu dan gengsi kita. Mempertahankan kehormatan hingga akhir hayat. Sehingga kita membuat film perlawanan seperti ini maka lahirlah film Deapati dan Datumuseng, Cindolo na Tape dan banyak lagi yang tayang di bioskop. Ini adalah bentuk lahirnya kembali kejayaan perfilman Makassar,” ungkap aktor senior pemilik 13 gelar akademik ini.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa sudah ada 50 film layar lebar yang siap untuk tayang di daerah Sulawesi Selatan, kemungkinan besar ditayangkan pada bualan Desember mendatang.
Pada kesempatan yang sama, Iwan Azis-Pengamat Perfilman Makassar membeberkan bahwa, Makassar pernah menjadi nomor 2 setelah Jakarta, terkait pada industri Film. Ini terjadi pada era 1960an. Karena itulah lahirlah PARFI di Makassar sesudah kota Bandung. Saat itu kata Iwan, pada masa produksi Film Sanrego.
“Dulu ketika film di Makassar menjadi booming. Latif Makka sebagai produser pertama di makassar. Saya pernah juga menjadi produser. Waktu itu sama dengan Nicky Vatvani, dan tembus ke Jakarta. Karena kalau kita tidak menembus batas, mimpi itu tidak bisa kita dapat.
Dulu sebenarnya sangat sulit untuk membuat film karena persoalan sarana dan prasarana. Sekarang kita bisa bikin sendiri, namun setelah itu mau kemana kalau tidak tembus di bioskop.
“Saya harapkan kepada kita semua, jangan bermimpi kalau tidak mau menembus batas,” lanjutnya
Jakarta menurutnya sangat ketakutan melawan orang Makassar hingga hari ini. Pengusaha film Jakarta jikalau ingin menjajal Makassar merasa enggan karena banyak sineas lokal yang sangat berkompeten dan kritis.
“Sekarang untuk kita semua jangan terlalu dininabobokan suatu sistem, sementara kita tidak punya power juga untuk melawan Jakarta,” ungkapnya
Ia berharap kota ini menjadi bagian dari penilaian citra perfilman Indonesia. Mirisnya sekarang ini karya putra Makassar sering disebut sebagai film daerah.
“Mudah-mudahan kita semua bisa menjadi bagian dari kembalinya kebangkitan film Nasional di Makassar. Selalu karya kita disebut sebagai film daerah, mestinya Film Nasional produksi daerah,” ucapnya bangga.