NARASIBARU.com – Saat ini, untuk mencegah penyebaran Covid-19 khususnya dalam sektor pendidikan, sekolah daring menjadi satu-satunya pilihan yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sayangnya, kebijakan yang berlaku sejak Maret 2020 tersebut juga disertai masalahnya sendiri, terutama dalam prosesnya. Masalah yang paling banyak berasal dari orang tua ataupun pendamping anak.
Melalui penelitian yang dilakukan lembaga riset SAYAPA, masalah terbesar yang menghambat berlangsungnya sekolah daring yakni keterbatasan waktu para orang tua ataupun pendamping.
SAYAPA melakukan riset di 24 Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan pada jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Mereka melibatkan sebanyak 432 orang responden.
“Kami Ingin ketahui bagaimana masalah perlakuan sekolah daring yang diterapkan pemerintah. Untuk mendapatkan saran, kritikan, dan garapan yang membangun. Hasil riset ini sebagai rekomendasi bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan sekolah online,” jelas Abd. Gofur selaku moderator konferensi pers lembaga SAYAPA via zoom, Jumat (27/11/2020).
Sekolah daring selama ini menjadi sorotan. Menurut Makmur, seorang pemerhati anak Sulsel, timnya ingin melihat seperti apa keresahan orang tua terkait sekolah daring ini.
“Mengingat juga ada beberapa kejadian yang memang tidak disangka-sangka terkait dari program sekolah daring ini, bahkan menimbulkan korban jiwa,” kata Makmur di sela pemaparan materi yang dibawakannya.
Kebijakan pusat, terkait sekolah daring, lebih banyak melibatkan perempuan yang mendampingi anak untuk belajar dengan skema online. Dari keseluruhan responden, ada 75,5% dari gender perempuan dan sisanya pria sebanyak 24,5%.
“Rata-rata responden memiliki 1 sampai 4 anak, dari peringkat pertama responden memiliki 2 anak, problemnya ini terkait beban ganda yang harus dialami oleh perempuan atau orang tua. Fokus dalam mengajar dan waktu yang terbatas untuk melaksanakan sekolah daring,” ungkap Makmur.
Ke dua, ialah keterbatasan kuota internet. Walaupun ada program bantuan kartu data, namun banyak yang terlambat dibagikan pihak sekolah kepada orang tua murid.
“Ini khususnya pada daerah pegunungan dan kepulauan,” sambung Makmur.
Selain hal-hal di atas, perlu juga melihat masalah-masalah yang dialami anak. Ada yang manja, kurang bersosialisasi dengan teman sebaya, ada pula yang cuek dan pemalas. Menurutnya, ini muncul karena memang pada dasarnya program daring jauh berbeda dengan sekolah seperti biasa. Dimana, dalam sekolah kita dituntut menjunjung kedisiplinan dan kerjasama dengan kelompok.
Responden menilai sekolah online tidak efektif sama sekali. Meski tetap ada sebagian kecil yang menganggap ini efektif.
“Ini terkuak dalam problematika sebelum pandemi. Alasannya, dengan sekolah daring bisa membangun hubungan harmonis antara anak dan orang tua,” kata Makmur.
Penulis: Ihsan Ismail