NARASIBARU.com – Ratusan warga berkumpul dalam memeriahkan perayaan Maudu Lompoa (Maulid Akbar) Cikoang, yang berlangsung di Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Minggu (15/11/2020).
Puluhan julung-julung, semacam perahu, yang dipenuhi hiasan dan di dalamnya terdapat bakul besar dengan telur berwana-warni, juga pakaian sehari-hari terpajang di sepanjang pinggir sungai Cikoang.
Di antara barisan julung-julung tersebut, terdapat atraksi-atraksi kesenian rakyat, yakni Pamanca (pencak cilat) yang diringi dengan ansambel musik yang terdiri dari duah buah Ganrang Pamanca (Gendang yang berukuran sedang), dua buah kannong-kannong (menyerupai gong dengan ukuran kecil), dan sebuah Dengkang (gong berukuran sedang).

Menurut M. Yunus Aidid, SH kr. Sibali, Maudu Lompoa Cikoang ini merupakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus bentuk kecintaan bagi masyarakat Cikoang. Khususnya masyarakat keturunan sayyid yang dilaksanakan setiap tahunnya.
Dalam sambutannya, Karaeng Sibali memaparkan, sebelum perayaan dimulai mereka berkumpul dan bersilaturahmi dengan seluruh keluarga besar keturunan sayyid. Kemudian bermusawarah dan membentuk kepanitiaan. Selanjutnya, mereka berkoordinasi dengan seluruh perangkat pemerintah untuk mendukung perayaan tersebut.
Ramainya pengunjung pada acara tersebut, bukan semata-mata untuk menyaksikan keindahan julung-julung dan meriahnya Pamanca. Mereka juga bisa merasakan sensasi keramaian seperti pasar terakhir di bulan ramadan. Pasalnya, di sepanjang jalan menuju titik perayaan Maudu Lompoa ini, yang jaraknya kurang lebih sekitar 500 meter, kedua sisi jalan sudah dipadati dengan beragam pedagang, layaknya pasar-pasar pada umumnya.

Menurut Rian (31), julung-julung ini merupakan tiruan dari bentuk perahu yang menjadi ciri khas masyarakat Cikoang.
“Masyarakat Cikoang kebanyakan nelayan, makanya perahu itu sebagai simbol masyarakat di sini” katanya saat dijumpai oleh Narasibaru.com di lokasi perayaan Maudu Lompoa.
Lanjut ia mengatakan, dalam menyiapkan julung-julung tersebut, membutuhkan modal yang tidak sedikit. Bahkan mencapai jutaan rupiah.
“Apalagi kalau julung-julung untuk pengantin baru, biasanya lebih ramai hiasannya, dan itu juga membutuhkan modal yang lebih banyak,” ungkapnya.
Terkait perayaan yang menyerupai pasar, Dahri (20) sedikit menyayangkan karena volume pedagang yang besar. “Ini pasar atau maulid? Kenapa lebih banyak penjual dari pada pajangan maulid?” katanya.
Sembari mengusap keringat karena sengatan terik matahari, ia melanjutkan, seandainya yang dijual ini tetap berkaitan dengan maulid atau kerajinan-kerajianan khas Cikoang, mungkin lebih bagus.
Pada acara tersebut, hadir pula pertunjukan lagu-lagu daerah dan karya seni tari dari Dewan Kesenian Kabupaten Takalar.
Penulis: Dita Pahebong