NARASIBARU.com – Sepanjang tahun 2020, AJI mencatat dua hal yang paling krusial bagi Jurnalis, yakni kebebasan pers dan aspek kesejahteraan. Data dari bidang Advokasi AJI mendokumentasikan sebanyak 84 kasus kekerasan terhadap wartawan.
Dalam kurun lima tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap Jurnalis pada 2020 mengalami peningkatan yang sangat drastis. Sebelumnya, pada tahun 2019 tercatat 53 kasus, 2018 sebanyak 64 kasus, 2017 ada 60 kasus, dan 2016 terjadi 81 kasus.
Menurut Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia, kasus kekerasan seharusnya cenderung menurun bukan malah sebaliknya. Pada tahun ini, sebaran kasus paling banyak masih terjadi di Jakarta. Ke dua terjadi di Malang, Surabaya. Kasus yang mendominasi berupa tindakan intimidasi, kekerasan fisik, serta pengrusakan alat dan data hasil liputan. Artinya, kasus-kasus kekerasan ini merupakan upaya menghalang-halangi tugas seorang Jurnalis.
“Inilah yang berkontribusi besar dalam kenaikan yang cukup signifikan pada kasus kekerasan terhadap wartawan,” kata Abdul Manan saat Konferensi Pers AJI via daring, Senin (28/12/2020).
Tahun ini, peningkatan kasus kekerasan terhadap Jurnalis terjadi saat aksi besar-besaran menolak UU Cipta Kerja (Omnibus Law), tepatnya Oktober kemarin. Saat itu, hampir seluruh elemen buruh, mahasiswa, serta warga sipil turun ke jalan menyuarakan aspirasinya.
Demonstrasi yang cukup masif ini berujung ricuh di seluruh daerah. Kata Manan, tentu saja wartawan meliput peristiwa itu. Dalam peliputan tersebutlah banyak terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan, mulai dari tindakan intimidasi agar tidak ikut meliput pemukulan serta tindakan pengrusakan hasil liputan.
“Tidak mengherankan jika data AJI mencatat, bahwa dari segi pelaku-pelaku kekerasan terhadap wartawan ini yang terbanyak adalah Polisi,” paparnya.
Bahkan ada beberapa kasus dimana Jurnalis mengalami tindak kekerasan tanpa alasan yang cukup jelas. Seperti yang dialami Alsih Marselina, Jurnalis Sultengnews, Palu. Saat melakukan liputan aksi tolak Omnibus Law, 8 Oktober lalu, ia beserta rekannya dipukuli oleh aparat kepolisian. Ia pun mengalami lebam di mata dan pipi sebelah kiri. Padahal, Alsih telah menunjukkan identitasnya sebagai Jurnalis.
“Saya lari dengan teman, dua orang wartawan terjebak di dalam barikade. Kemudian datanglah polisi menanyakan ‘dari mana?’. Namun mereka tak percaya sama sekali,” kata Alsih (Baca: Maraknya Tindak Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan).
Komitmen Pemerintah terhadap upaya melindungi kebebasan pers dinilai AJI sangat rendah. Dari aspek regulasi, perlindungan tersebut harus dibarengi usaha untuk membuat teks ulasan yang mendukung kebebasan pers. “Sehingga ini tidak menimbulkan, tidak melahirkan batasan-batasan baru atau melahirkan regulasi yang bisa mengancam,” kata Abdul Manan.
Pada aspek kesejahteraan, berdasar pantauan AJI Indonesia, tiga tahun terakhir perusahaan media mengalami disrupsi digital. Wawan Abk, Bidang Ketenagakerjaan AJI, juga menjelaskan sejumlah situasi yang dialami pekerja media. Pertama, penurunan pendapatan iklan untuk media baru. Ke dua, kegamangan dari media sendiri untuk beradaptasi dengan teknologi, kemudian fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga penutupan beberapa media baik nasional maupun yang lokal.
“Selain menghadapi era disrupsi, kita juga mengalami pukulan ke dua, yaitu pandemi covid 19 yang sangat luar biasa. Ancaman virus corona ini semakin memperparah dan mempersulit langkah media untuk bergerak,” papar Wawan.
Penulis: Ihsan Ismail