Meski memenangkan pertempuran, perang di Pulau Iwo Jima juga menimbulkan kerugian besar bagi pihak marinir Amerika. Puluhan ribu pasukan mereka mati, sementara yang hidup dihantui kenangan buruk…
NARASIBARU.com – Iwo Jima, sebuah pulau vulkanik yang terletak sekitar 659 mil laut selatan Tokyo. Luasnya sekitar 8 km persegi. Tahun 1945, meski wilayah gersang tersebut dijaga ketat oleh artileri dan ribuan prajurit Jepang, namun lokasi terpencil itulah titik invasi pertama Amerika Serikat (AS), untuk memperoleh kemenangan, pada akhir Perang Dunia II.
Marinir AS secara perlahan memulai gerakan “Operation Detachment”. Mereka mengincar Iwo Jima, dan menjadikannya pangkalan udara, untuk melakukan penyerangan terhadap Jepang. Jarak pulau dengan target yang hanya berkisar 1000 km dianggap ideal untuk operasi mereka.
Bahkan dalam beberapa laporan dikatakan, Amerika mulai menekan pertahanan Jepang di Iwo Jima sejak Februari 1944. Selama 74 hari, AS mengerahkan pesawat B-24 dan B-25 untuk melakukan pengepungan. Sementara, untuk melumpuhkan tentara bawah laut Jepang, AS mengirimkan “frogmen”, atau pasukan katak untuk memulai invasi.
19 Februari 1945, pasukan amfibi AS tiba di Iwo Jima. Di bawah arahan Menteri Angkatan Laut, James Forrestal, yang sebelumnya telah meninjau lokasi serangan dari atas sebuah kapal komando di lepas pantai. Dalam penyerangan itu, mereka membawa serta jurnalis.
Sekitar empat hari kemudian, Gunung Suribachi yang merupakan titik tertinggi di Iwo Jima, sekaligus pertahanan terakhir pasukan Jepang, berhasil dikuasai Marinir AS. Dari sanalah sebuah potret momen ikonik berasal, yakni ketika pasukan Amerika mengibarkan bendera negara mereka di puncak Iwo Jima. Seorang fotografer dari Associated Press, Joe Roshental, berhasil mengabadikannya dan memenangkan penghargaan Pullitzer kala itu. Gambar tangkapannya juga merupakan yang paling dikenang dalam sejarah Perang Pasifik.

Lamanya waktu yang dibutuhkan pasukan AS untuk menguasai Iwo Jima, disebabkan pertahanan yang dibangun Jepang dengan mengerahkan 21.000 pasukannya. Selain itu, mereka juga memiliki pertahanan bawah tanah yang mumpuni dan jaringan gua. Hal ini jugalah yang menewaskan sekitar 550 pasukan Amerika invasi tersebut. Tak hanya itu, sekitar 1.800 tentara juga mengalami luka-luka setelah dihujani tembakan oleh tujuh batalyon pasukan Jepang.
Pertempuran di Iwo Jima berlangsung total selama 36 hari, 19 Februari hingga 26 Maret 1945. Meski meraih kemenangan, namun secara keseluruhan personel yang kehilangan nyawa di pihak Militer AS jumlahnya sangat besar. Diketahui, dari 26.000 korban, sebanyak 6.800 diantaranya tewas.
Selain kehilangan pasukan, Marinir Amerika juga harus merelakan Kapal Induk USS Bismarck Sea mereka yang terakhir, karena tenggelam selama Perang Pasifik berlangsung.
Ingatan Buruk tentang Pertempuran Iwo Jima
Selain menjadi momen yang ikonik, pertempuran di Pulau Iwo Jima juga mengisahkan kenangan buruk bagi veterannya. Kehilangan puluhan kawan dari unit yang sama, harus dialami oleh Bill Montgomery, salah satu marinir yang selamat.
Dilansir dari laman National Geographic, saat ini lelaki berusia sekitar 95 tahun tersebut masih tampak sering gelisah. Bagi Montgomery, pertempuran di Iwo Jima sangatlah mengerikan. Kenangan yang masih menghantuinya antara lain ketika ia dikira musuh oleh tentara AS. Dengan menggunakan pesawat Mustang-P51, sebuah rudal dijatuhkan tepat di atas Montgomery.

“Itu mendarat tepat di sebelah lubang perlindungan saya, memantul tepat di depan kami ke daerah Jepang, dan meledak,” katanya, masih dikutip dari laman National Geographic.
Akibat peristiwa tersebut, Montgomery kehilangan pendengaran di telingan kanannya. Usianya masih 20 tahun saat itu. Ia bahkan pernah mengabiskan semalaman penuh dengan berjongkok di parit dangkal. Dalam keadaan takut, ia tetap menunduk agar kepalanya tak tertembak oleh sesama Marinir, yang juga berlindung beberapa kaki di belakangnya.
Tak hanya disasar dengan rudal, yang membuat Montgomery marah dan mencari-cari pilot Mustang-P51 saat itu. Pada suatu malam, beberapa granat dilemparkan ke arah lubang perlindungannya oleh pasukan Jepang. Teman-temannya bahkan sempat mengira ia sudah meninggal.
Bill Montgomery memang bisa pulang dengan selamat. Namun apa yang ia alami di Iwo Jima, kata Montgomery, adalah kejadian yang membuatnya berada paling dekat dengan kematian. Baginya, cobaan perang di Iwo Jima sangat berat, dan itu masih terus menghantuinya.
Dikenang dalam Film Letters From Iwo Jima
Peristiwa di pulau Iwo Jima, selain meninggalkan kenangan buruk bagi para veteran perangnya, juga menjadi bagian sejarah yang tak bisa diabaikan. Karenanya, Perang Pasifik tersebut banyak dicatat dalam buku-buku, bahkan dijadikan kisah dalam film.
Setelah Flags of Our Father, sutradara Clint Eastwood, menggarap sebuah film yang menceritakan kisah peperangan di Pulau Iwo Jima. Rilis pada tahun 2006, Letters From Iwo Jima kemudian dianggap salah satu film perang terbaik. Meski disutradarai oleh seorang dari Amerika, namun film ini memngambil sudut pandang dari tentara Jepang.

Dikutip dari laman tempo.co, dalam artikel Surat yang Tak Pernah Terkirim oleh Idrus F. Shahab, kisah film Letters From Iwo Jima tak hanya menyoal brutalnya peperangan masa itu. Namun, berdiri dari sudut pandang para serdadu Jepang, film ini kemudian memperlihatkan kegelisahan-kegelisahan yang begitu manusiawi.
Mengisahkan Saigo, salah seorang serdadu Jepang, yang menulis surat untuk putranya selama bersembunyi di gua, di Pulau Iwo Jima. Diceritakan, putra Saigo saat itu baru saja lahir dan ia belum sempat melihatnya. Hal itulah yang kemudian membuatnya berjuang untuk pulang.
Namun Saigo, beserta serdadu lainnya, mustahil melepaskan diri dari dua hal yang menjepit mereka di medan terakhir Perang Dunia II, Iwo Jima: Kalah atau Mati.
Editor: Dian Kartika