Juni Mengerikan Menanti Prabowo: Beban Utang Jatuh Tempo Capai Rp 178 Triliun!

- Rabu, 23 April 2025 | 14:30 WIB
Juni Mengerikan Menanti Prabowo: Beban Utang Jatuh Tempo Capai Rp 178 Triliun!




NARASIBARU.COM - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada tantangan fiskal yang sangat berat. 


Beban utang jatuh tempo yang harus dilunasi sepanjang tahun 2025 mencapai angka fantastis Rp 800,33 triliun.


Angka ini jauh melampaui beban utang jatuh tempo pada tahun 2024 yang tercatat sebesar Rp 434,29 triliun.


Dari total Rp 800,33 triliun tersebut, sebesar Rp 705,5 triliun berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 94,83 triliun dari pinjaman. 


Dengan waktu efektif yang tersisa hanya sembilan bulan, pemerintah dituntut untuk melakukan pengelolaan anggaran yang sangat cermat dan memastikan likuiditas yang cukup untuk memenuhi kewajiban ini.


Data dari dokumen Kementerian Keuangan yang diperoleh pada Rabu (23/4/2025) mengungkapkan rincian pembayaran utang jatuh tempo per bulan sepanjang tahun ini. 


Di awal tahun, pemerintah telah melakukan pembayaran utang sebesar Rp 37,7 triliun pada Januari, Rp 48,9 triliun pada Februari, dan Rp 25,3 triliun pada Maret. April dan Mei masih relatif lebih ringan dengan masing masing 22 dan 42,4 Triliun.


Namun, Juni 2025 menjadi bulan yang paling krusial dan menantang. 


Pada bulan tersebut, pemerintah harus menyiapkan dana sebesar Rp 178,9 triliun untuk melunasi utang jatuh tempo. 


Angka ini menjadikan Juni sebagai puncak tekanan fiskal terkait pembayaran utang di tahun ini.


Setelah Juni yang "menguras kas negara", beban pembayaran utang akan terus berlanjut dengan rincian sebagai berikut: Juli sebesar Rp 34,7 triliun, Agustus melonjak menjadi Rp 105,3 triliun, September Rp 50,7 triliun, Oktober kembali signifikan di angka Rp 100,7 triliun, November Rp 28,7 triliun, dan Desember sebesar Rp 32,1 triliun.


Warisan Pandemi Covid-19, Biang Kerok Utang Menumpuk


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa penumpukan utang jatuh tempo pada tahun 2025 adalah konsekuensi dari pandemi Covid-19. 


Pada saat itu, Indonesia membutuhkan belanja tambahan hampir Rp 1.000 triliun untuk menangani dampak pandemi.


"Mungkin angka-angka yang di 2025-2027 ini tinggi. Jangan lupa, pandemi Covid-19 waktu itu membutuhkan hampir Rp 1.000 triliun belanja tambahan. Untuk menambah belanja sebesar itu pada saat tadi penerimaan negara turun 19 persen karena ekonominya berhenti waktu itu," kata Sri Mulyani saat Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Senayan pada Juni 2024 lalu.


Penarikan utang tersebut dilakukan melalui skema burden sharing bersama Bank Indonesia (BI) dengan menggunakan surat utang negara yang maturitasnya maksimal tujuh tahun. 


"Jadi kalau tahun 2020, maksimum jatuh tempo dari pandemi itu semuanya di 7 tahun."


Sri Mulyani menambahkan, "Itu adalah biaya pandemi yang mayoritas kita issue surat utangnya berdasarkan agreement. Waktu itu, Komisi XI, kami dengan BI melakukan burden sharing agar neraca BI tetap baik, fiskalnya tetap kredibel, politik juga acceptable. Kita akhirnya menyetujui menyepakati instrumen tersebut." kata bendahara negara itu.


Beban utang jatuh tempo yang sangat besar pada tahun 2025 menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Prabowo Subianto. 


Pemerintah perlu menyusun strategi fiskal yang jitu untuk memastikan likuiditas yang cukup dan menjaga stabilitas ekonomi. 


Pengelolaan utang yang transparan dan akuntabel juga menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan investor dan masyarakat.


Mengingat kondisi ini, prioritas belanja negara perlu ditinjau ulang, dan efisiensi belanja harus ditingkatkan. 


Selain itu, upaya meningkatkan penerimaan negara dari berbagai sektor juga menjadi sangat penting.


Beban utang jatuh tempo yang tinggi ini menjadi pengingat bahwa dampak pandemi Covid-19 masih akan terasa dalam jangka panjang. 


Pemerintahan Prabowo Subianto dituntut untuk bekerja keras dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi tantangan ini dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.


Sumber: Suara

Komentar