NARASIBARU.COM - Pernyataan Presiden Prabowo Subianto kembali menuai kritik. Ia berencana membangun penjara khusus koruptor di pulau terpencil.
Alasannya agar mereka tidak bisa kabur. Kalaupun mencoba, mereka akan berhadapan dengan hiu.
Namun, pernyataan ini justru dianggap menunjukkan ketidakjelasan kebijakan pemberantasan korupsi.
Sebelumnya, Prabowo sempat menyatakan akan mengampuni koruptor jika mereka mengembalikan uangnya secara diam-diam.
Sejumlah pakar menilai, ketimbang membuat pernyataan bombastis, Prabowo seharusnya mengambil langkah nyata: dorong pengesahan UU Perampasan Aset, kembalikan independensi KPK, dan pastikan penegakan hukum yang konsisten.
Rencana Presiden Prabowo membuat penjara khusus koruptor ini disampaikan dalam acara peluncuran tunjangan guru ASN di Kemendikdasmen, Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2035).
Prabowo menyebut korupsi menyengsarakan masyarakat, termasuk guru, dan mengklaim akan "mengusir" para koruptor.
"Saya akan bikin penjara yang kokoh di tempat terpencil. Mereka enggak bisa keluar malam hari. Kalau mau kabur, ketemu hiu," katanya.
Namun, menurut Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, pernyataan ini lebih bersifat retorika tanpa arah kebijakan yang jelas.
Ini bukan pertama kalinya Prabowo bicara soal pemberantasan korupsi. Sebelumnya, ia juga pernah mengatakan akan mengejar koruptor sampai ke Antartika.
"Dari pidato ke pidato, tapi tanpa implementasi. Ini cuma jadi omon-omon (omong kosong)," kata Zaenur, Jumat (14/3/2025).
Zaenur menegaskan, penjara bukan solusi utama untuk memberantas korupsi. Akar masalahnya adalah faktor ekonomi.
Maka, hukuman yang efektif bukan sekadar pemenjaraan, tetapi pemiskinan koruptor melalui pemulihan aset negara.
Zaenur mengaskan penjara khusus koruptor seperti Sukamiskin sudah ada. Tapi, korupsi tetap marak.
"Tapi kan itu juga tidak menyelesaikan masalah," ujarnya.
Pidana Ringan, Denda Rendah, dan Inkonsistensi Pemberantasan Korupsi
Hukuman bagi koruptor masih tergolong ringan. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2023 mencatat, rata-rata vonis pengadilan tindak pidana korupsi hanya 3 tahun 4 bulan penjara.
Sanksi denda juga belum memberi efek jera. Total denda yang dijatuhkan sepanjang 2023 hanya Rp 149 miliar, turun dari Rp 202 miliar pada 2021.
"Indonesia punya keterbatasan instrumen hukum untuk pemulihan aset. Selain itu, dendanya masih relatif rendah," kata Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman.
Zaenur menilai, solusi utama bukan sekadar penjara, tapi penguatan regulasi. Revisi UU Tipikor dan pengesahan RUU Perampasan Aset mendesak dilakukan.
Selain itu, reformasi aparat penegak hukum, terutama mengembalikan independensi KPK, harus menjadi prioritas.
Sayangnya, itu tak masuk dalam agenda Presiden Prabowo. Yang ada justru pidato bombastis tanpa tindak lanjut.
"Tindak lanjut yang bisa diuji dan diukur keberhasilannya lebih penting daripada sekadar retorika," tegasnya.
Senada dengan Zaenur, Ketua IM57 Institute, Lakso Anindito, meminta Prabowo menunjukkan komitmen nyata.
Menurutnya, pemenjaraan hanya satu bagian dari pemberantasan korupsi. Ada hal yang lebih fundamental yang harus dibenahi.
"RUU Perampasan Aset sangat penting, tapi hingga kini belum terealisasi," kata Lakso.
Tak hanya regulasi, Prabowo juga harus segera memulihkan independensi KPK.
"KPK adalah simbol reformasi yang hancur selama 10 tahun pemerintahan Jokowi. Jika bisa dipulihkan, kepercayaan publik akan ikut kembali," tegasnya.
Penjara di Pulau, Solusi atau Masalah Baru?
Pegiat antikorupsi Tibiko Zabar mengingatkan, penjara khusus di pulau terpencil bisa jadi blunder. Alih-alih menjerakan, justru semakin sulit diawasi.
"Lapas khusus koruptor sudah ada, tapi tetap jadi tempat istimewa. Berkali-kali ditemukan fasilitas mewah di dalamnya," katanya.
Oleh karena itu, sejumlah pengamat menilai solusinya ialah dengan memaksimalkan hukuman: penjara badan, pengembalian kerugian negara, pencabutan hak politik, dan pemiskinan koruptor. RUU Perampasan Aset harus segera dibahas dan disahkan.
Di sisi lain, pernyataan Prabowo soal koruptor terus berubah. Ia pernah mengatakan akan mengampuni koruptor asal mengembalikan uang.
Belakangan, muncul wacana abolisi atau amnesti bagi ribuan narapidana, termasuk koruptor.
"Pernyataan Prabowo inkonsisten dan bertolak belakang. Sulit melihat arah pemberantasan korupsinya," ujar Tibiko.
Menguji Komitmen Prabowo
Kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara Rp300 triliun menjadi ujian pertama bagi pemerintahan Prabowo.
Pada Desember 2024, menurut Catatan Indonesia corruption Watch setidaknya 10 terdakwa menerima vonis jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Prabowo memang meminta Kejaksaan Agung mengajukan banding. Namun, menurut ICW tanpa perbaikan sistem hukum, vonis ringan bagi koruptor akan terus terjadi.
Sayangnya, pemerintah tak melihat urgensi ini. RUU Perampasan Aset bahkan tak masuk dalam Prolegnas prioritas 2025.
Tanpa komitmen memperkuat hukum antikorupsi, ICW memprediksi jumlah kasus dan kerugian negara akibat korupsi akan terus meningkat. Sebab, tanpa hukuman yang menjerakan, korupsi akan terus berulang.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Doktif alias Dokter Detektif Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus UU ITE di Polda Sumut
Pakar Hukum Pidana: KPK Jangan Ragu Tetapkan Ridwan Kamil Tersangka!
Gawat, Ada Dugaan Korupsi PT Pupuk Indonesia, Negara Rugi Rp8,3 Triliun
Audit Kertajati: Bandara Gagal Yang Membakar Triliunan, Saatnya Reaktivasi Husein Sastranegara!