Tuntutan Penggantian Wapres Dalam Lensa Hukum Administrasi Negara

- Sabtu, 26 April 2025 | 20:55 WIB
Tuntutan Penggantian Wapres Dalam Lensa Hukum Administrasi Negara


Tuntutan Penggantian Wapres Dalam 'Lensa Hukum' Administrasi Negara


Tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI untuk mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menimbulkan pertanyaan kritis terkait legitimasi hukum dan batasan intervensi aktor non-politik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.


Seperti yang sudah diberitakan oleh media massa sebelumnya bahwa Forum Purnawiraan Prajurit TNI mengajukan pernyataan sikap yang berisikan 8 tuntutan.


Pada poin ke-8 tertulis: Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.


Tidak tanggung-tanggung, pernyataan sikap tersebut ditandatangani 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.


Tertanda tangan Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Razi dan Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn.) Slamet Soebijanto, dan Marsekal TNI (Purn.) Hanafie Asnan. Dengan diketahui Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno.


Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: sejauh mana tuntutan tersebut memiliki legitimasi hukum dalam kerangka konstitusi dan administrasi pemerintahan Indonesia?


Analisis ini menguji tuntutan tersebut melalui lensa hukum administrasi negara, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip konstitusionalisme, demokrasi, mekanisme penggantian pejabat negara, serta akuntabilitas administratif.


Sebagai catatan: artikel ini hanya membahas tuntutan pada poin ke-8 dan tidak membahas tuntutan lainnya.  


Kedudukan Wakil Presiden dalam Konstitusi


Berdasarkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, Wakil Presiden merupakan jabatan yang terintegrasi secara konstitusional dengan Presiden melalui mekanisme pemilihan langsung.


Pasal 6A UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.


Prosedur pengangkatan Wakil Presiden melalui pemilu langsung bersama Presiden telah mengikat secara konstitusional.


Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka peluang bagi Gibran untuk mencalonkan diri memang kontroversial, namun tetap memiliki kekuatan hukum tetap (res judicata pro veritate habetur).


Pergantian Wakil Presiden hanya dimungkinkan dalam dua skenario: (1) berhalangan tetap (Pasal 8 UUD 1945), atau (2) pemberhentian melalui proses impeachment oleh MPR atas usulan DPR (Pasal 7B UUD 1945).


Tidak ada klausul konstitusional yang memberikan kewenangan kepada kelompok non-state actor, termasuk organisasi veteran militer, untuk menginisiasi proses pergantian Wakil Presiden.


Dimensi Hukum Administrasi Negara


Menurut Jimly Asshiddiqie (2006), konsep constitutional morality tidak berhenti pada kepatuhan formal terhadap konstitusi, tetapi juga mencakup integritas proses demokrasi.


Di sinilah kritik dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI mendapat konteks etis, namun secara normatif, tidak terdapat mekanisme hukum positif untuk "mengganti" Wakil Presiden terpilih secara sepihak atau karena desakan publik.


Kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 8 UUD NRI 1945, yaitu jika Presiden atau Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya.


Dari sudut hukum administrasi negara, jabatan publik tidak hanya merupakan hasil dari proses legal-formal, tetapi juga harus mencerminkan prinsip good governance.


Prinsip ini meliputi legalitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik (Riant Nugroho, 2015).


Permasalahan etika dalam pencalonan Gibran, terutama terkait dugaan konflik kepentingan antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif, menimbulkan pertanyaan mengenai asas netralitas administrasi negara.


Namun, dalam sistem presidensial seperti Indonesia, posisi Wakil Presiden tidak tunduk pada prinsip duty of accountability administratif sebagaimana pejabat struktural lainnya.


Akuntabilitas politik Wakil Presiden sepenuhnya bergantung pada proses pemilu dan pertanggungjawaban politik kepada rakyat melalui mekanisme elektoral, bukan administratif.


Hukum administrasi negara mengedepankan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dan stabilitas pemerintahan (Wade & Forsyth, 2009). 


Tuntutan penggantian wapres tanpa alasan hukum yang jelas dapat menciptakan ketidakstabilan politik dan merusak tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).


Tuntutan ini juga mencerminkan potensi abuse of power oleh kelompok kepentingan (interest group) yang ingin memengaruhi kebijakan negara di luar mekanisme demokratis. Hukum administrasi modern menolak intervensi sepihak yang tidak berbasis aturan (Peters, 2021).


Kritik Terhadap Politisasi Mekanisme Konstitusional


Desakan penggantian di luar kerangka hukum dapat dipahami sebagai bentuk ekspresi politik, tetapi menjadi berbahaya jika dipaksakan masuk ke dalam jalur kenegaraan tanpa dasar hukum yang sah.


Hal ini membuka preseden buruk terhadap stabilitas sistem ketatanegaraan.


Dalam pendekatan legal realism, seperti dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, hukum bukan sekadar teks, tetapi juga produk dari interaksi sosial dan politik.


Namun, ketika tafsir sosial ini dibawa ke dalam tindakan administratif negara tanpa legitimasi hukum, maka negara rentan terhadap krisis normatif.


Dalam hukum tata negara, legal standing merujuk pada kapasitas suatu entitas untuk mengajukan tuntutan atau gugatan (Stone Sweet, 2002).


Forum Purnawirawan TNI bukanlah lembaga negara, sehingga tidak memiliki locus standi untuk menuntut penggantian pejabat publik.


Tuntutan semacam ini lebih bersifat politis ketimbang hukum, karena tidak berdasar pada mekanisme konstitusional yang sah (Asshiddiqie, 2006).


Terhadap tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI tersebut, berikut adalah beberapa catatan kritis yang diajukan penulis:


1. Pelanggaran Prinsip Supremasi Sipil


Tuntutan ini mengabaikan prinsip civilian supremacy yang menjadi pilar demokrasi Indonesia. Pasal 30 ayat (5) UU No. 34/2004 tentang TNI secara eksplisit melarang keterlibatan militer dalam praktik politik praktis. 


Meskipun dilakukan oleh purnawirawan, intervensi kelompok dengan akar identitas militer berpotensi menciptakan preseden berbahaya bagi netralitas birokrasi. 


Narasi yang dibangun dapat menciptakan persepsi bahwa TNI masih memiliki tendensi politik, yang bertentangan dengan reformasi militer pasca-Orde Baru (Crouch, 2010).


2. Ketidaksahan Prosedural Administratif


Dalam perspektif hukum administrasi negara, penggantian pejabat publik harus mengikuti mekanisme due process of law (Marbury v. Madison, 1803). 


Pasal 14 PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS menegaskan bahwa pemberhentian pejabat negara wajib melalui proses pembuktian pelanggaran administratif. 


Tuntutan tanpa dasar hukum konkret melanggar asas rechtsmatigheid van bestuur (legalitas pemerintahan).


3. Penyimpangan Terhadap Prinsip Trias Politica


Upaya delegitimasi Wakil Presiden melalui jalur non-konstitusional bertentangan dengan doktrin pemisahan kekuasaan. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, bukan institusi di luar struktur negara. 


Intervensi eksekutif terhadap kewenangan MPR dalam hal pemberhentian pejabat negara merupakan bentuk abuse of power.


Pendekatan teori konstitusionalisme Carl J. Friedrich mengingatkan bahwa tuntutan ini merupakan bentuk constitutional erosion melalui perluasan peran aktor non-demokratis dalam proses politik.


Sementara teori administrasi publik Woodrow Wilson menegaskan bahwa stabilitas birokrasi memerlukan proteksi dari tekanan kelompok kepentingan ekstra-parlementer.


Kesimpulan


Analisis ini menegaskan bahwa tuntutan penggantian Wakil Presiden tanpa dasar konstitusional tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga berpotensi mengikis prinsip negara hukum dan demokrasi yang menjadi fondasi Republik Indonesia.


Tuntutan penggantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh Forum Purnawirawan TNI tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam kerangka hukum tata negara maupun administrasi negara.


Kritik terhadap proses pemilu, keputusan MK, atau etika politik dapat terus dilakukan dalam kerangka kebebasan berekspresi.


Namun, segala tindakan negara, termasuk pergantian jabatan publik, harus tetap berada dalam rel hukum positif dan asas-asas pemerintahan yang baik.


***


Sumber: Kompasiana

Komentar