Profil Kemal Kilicdaroglu Pemeluk Alevi Penantang Utama Erdogan di Pilpres

- Sabtu, 13 Mei 2023 | 15:30 WIB
Profil Kemal Kilicdaroglu Pemeluk Alevi Penantang Utama Erdogan di Pilpres

Pemilu akan diselenggarakan di Turki pada bulan ini. Pelaksanaan pemilu putaran pertama dimulai besok Minggu (14/5) sementara putaran final digelar tepat dua minggu sesudahnya, pada Minggu (28/5).

Pemilu ini dianggap lebih besar dari sebelumnya, lantaran dapat menentukan ke mana arah negara sekutu NATO tersebut di tahun-tahun mendatang.

Petahana dan Presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdogan, yang telah memimpin selama dua dekade meminta para pemilih untuk memberikannya masa jabatan lima tahun lagi.

Namun, kekuasaan pria berusia 69 tahun itu berada di ujung tanduk dan diprediksi bakal gugur dalam pemilu kali ini.

Tiga pesaing Erdogan berusaha untuk mengakhiri masa jabatannya yang panjang, tetapi sebagian besar pengamat setuju bahwa persaingan akan bermuara pada Erdogan vs Kemal Kilicdaroglu — lawan utamanya, sekaligus seorang kandidat capres yang didukung oleh enam partai oposisi.

Menurut hasil survei yang dirilis oleh lembaga penelitian KONDA Research and Consultancy pada Kamis (11/5), Erdogan tertinggal sebesar lima persen dari Kilicdaroglu. Erdogan memperoleh dukungan sebesar 43,7 persen, sementara Kilicdaroglu sebanyak 49,3 persen.

Disadur dari berbagai sumber, berikut ini adalah sosok Kemal Kilicdaroglu — yang diprediksi bakal memenangkan pemilu 2023 dan menggantikan Erdogan sebagai orang nomor satu di Turki.

Tumbuh dari Keluarga Pemeluk Agama Alevi

Dikutip dari Al Jazeera, Kilicdaroglu lahir pada 17 Desember 1948 di Kota Tunceli, bagian timur Turki.

Dia lahir dari tujuh orang bersaudara, dalam sebuah keluarga yang memeluk agama minoritas Alevi. Aliran agama Islam ini tersebar di Turki dan Siprus, bersumber perpaduan aliran Syiah dan sufisme.

Ayah Kilicdaroglu adalah seorang pegawai negeri, sementara ibunya seorang ibu rumah tangga. Kilicdaroglu kemudian lulus dari Akademi Ekonomi dan Ilmu Komersial Ankara (sekarang bernama Universitas Gazi) di Ibu Kota Ankara dan meraih gelar sarjana ekonomi.

Pada 1990-an, Kilicdaroglu bekerja di Kementerian Keuangan Turki sebagai akuntan, dan menjadi pemimpin lembaga jaminan sosial. Resumenya menyebutkan bahwa Kilicdaroglu pernah dinobatkan sebagai ‘Birokrat Terbaik Tahun Ini’, sebelum bergabung menjadi anggota parlemen pada 2002.

Kilicdaroglu kemudian menjadi pemimpin partai oposisi sekuler utama Turki, Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi/CHP) dan dikenal oleh para pengikutnya sebagai politisi yang bersih dan memperjuangkan nilai-nilai sekuler.

Dia tidak hanya mewakili CHP, tetapi juga merupakan kandidat terusung dari koalisi partai oposisi yang dikenal dengan sebutan Table of Six atau Aliansi Bangsa. Koalisi ini terdiri dari partai-partai sayap kiri, tengah, dan kanan dalam politik Turki.

Dikutip dari NPR, koalisi besar tersebut kerap memiliki perbedaan pendapat dalam banyak hal, tetapi mereka menemukan satu kesamaan — yaitu keinginan mereka untuk menggantikan Erdogan sebagai presiden.

Menurut ketua di sebuah lembaga think-tank berbasis di Istanbul Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Luar Negeri, Sinan Ulgen, fakta bahwa koalisi ini kompak dan mengajukan Kilicdaroglu sebagai satu-satunya kandidat capres pada pemilu adalah peristiwa yang luar biasa dalam sejarah politik Turki.

“Salah satu kegagalan utama mengapa oposisi tidak dapat menggulingkan Erdogan di masa lalu adalah karena kegagalan mereka untuk bertindak sebagai oposisi yang bersatu,” kata Ulgen.

“Kali ini, oposisi telah berhasil membentuk sebuah koalisi besar yang terdiri dari enam partai politik,” sambung dia.

Ingin Mengembalikan Turki Menjadi Negara Parlementer

Dikutip dari Hurriyet Daily News, dalam sebuah wawancara televisi lokal pada Rabu (26/4) lalu Kilicdaroglu mengatakan bahwa partai yang dia pimpin CHP dan koalisinya berambisi untuk mengembalikan sistem pemerintahan Turki menjadi parlementer.

Kilicdaroglu berjanji, jika dia terpilih sebagai presiden maka ambisi tersebut akan terwujud dan partai berkuasa di Turki saat ini yang dipimpin oleh Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi/AK), akan mendukung hal itu.

“Mereka yang mendukung kembali ke sistem parlementer yang diperkuat akan menjadi mayoritas di parlemen. Para wakil Partai AK juga akan mendukung hal ini karena mereka telah melihat bahwa hak mereka untuk berpolitik telah dirampas [akibat sistem eksekutif-presidensial yang ada],” kata Kilicdaroglu.

Menanggapi sebuah pertanyaan, Kilicdaroglu menyatakan keyakinannya bahwa Aliansi Bangsa akan mendapatkan suara mayoritas yang dibutuhkan di parlemen untuk mewujudkan Turki sebagai negara parlementer lagi.

“Kami akan memperkenalkan budaya kompromi di antara partai-partai politik. Kami pasti akan berkonsultasi dengan masyarakat sipil selama proses legislasi. Semua peraturan akan dibahas terlebih dahulu di Dewan Ekonomi dan Sosial,” jelas Kilicdaroglu.

“Kami akan membawa demokrasi yang sesungguhnya ke Turki. Kita berbicara tentang Turki yang benar-benar berbeda,” pungkasnya.

Salah seorang warga Istanbul, Meral Cildir (64 tahun) yang menduduki jabatan di Dewan Asosiasi Hak Asasi Manusia di Turki, mengaku mendukung ambisi Kilicdaroglu.

Sebelumnya, Turki sempat memiliki pemerintahan parlementer, tetapi diubah oleh Erdogan menjadi presidensial yang kuat dalam referendum tahun 2017.

“Tentunya perubahan kembali ke sistem parlementer akan menjadi langkah pertama untuk memulihkan demokrasi kita,” kata Cildir.

“Jika tidak, tidak akan ada bedanya dengan pemerintahan yang kita miliki sekarang,” sambung dia.

Cildir berharap, jika terpilih nantinya Kilicdaroglu dapat mengembalikan keseimbangan pemerintah dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Dia merujuk pada kasus ketika lebih dari 100 ribu pegawai negeri, akademisi, jurnalis, dan lain-lain yang kehilangan pekerjaan atau dipenjara setelah terlibat dalam upaya kudeta yang gagal pada 2016.

Sebenarnya, Erdogan masih populer dan telah mengkonsolidasikan kekuasaan di bawah kepemimpinannya. Namun, banyak orang Turki menginginkan perubahan.

Hal itu dirasakan oleh Ibrahim Iper (24 tahun) yang berpendapat bahwa akibat kondisi Turki saat ini membuat dirinya dan teman-temannya sangat menginginkan seorang pemimpin baru.

“Kami ingin berubah, karena kami masih muda. Kaum muda ingin mengubah posisi kami saat ini — ekonomi, politik, kami tidak menyukainya,” ungkap Iper.

Adapun pemilu 2023 ini diadakan ketika Turki sedang bergulat dengan meroketnya nilai inflasi, dan sedang memulihkan diri dari gempa bumi dahsyat yang menelan puluhan ribu orang pada Februari 2023 lalu.

Banyak warga Turki menyayangkan terjadinya musibah itu — menyalahkan pemerintahan Erdogan yang dianggap seharusnya dapat melakukan upaya preventif.

Iper mengatakan, jika Kilicdaroglu menang maka dia akan dihadapkan pada empat tugas besar di depannya: memulihkan demokrasi, memastikan independensi sistem peradilan, mengembalikan ekonomi ke jalur yang benar, dan menopang sektor pendidikan Turki.

Sumber: kumparan.com

Komentar