TRIBUN-PAPUA.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta memfasilitasi perundingan antara manajemen PT Freeport Indonesia bersama 8.300 buruh yang mogok kerja.
Ribuan buruh tersebut memilih mogok kerja sejak 1 Mei 2017 hingga 1 Mei 2023 akibat penerapan kebijakan dirumahkan oleh manejemen PTFI.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay pun mendesak Komnas HAM segera menyampaikan upaya mediasi malah ini ke Presiden Jokowi.
Hal itu sesuai dengan Surat Rekomendasi Komnas HAM RI Nomor : 1475/R-PMT/X/2017 dan� Surat Nomor : 178/TUN/XI/2018 Ketua Komnas HAM R.
Emmanuel Gobay, menilai Jokowi dan CEO Freeport Mc Moran, Richard Adkerson serta Direktur Utama PTFI Tony Wenas lebih mengutamakan kelancaran eksploitasi tembaga dan eksport tembaga.
Baca juga: 8.300 Buruh PT Freeport Mogok Kerja, LBH Papua Minta Presiden Jokowi Gelar Perundingan
Pilihan itu dinilai lebih menguntungkan, ketimbang menyelesaikan persoalan 8.300 buruh PTFI yang mogok kerja sesuai ketentuan Pasal 137 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Apabila kegiatan ekspor disetop, maka gelombang PHK bisa terjadi. Sebagaimana diketahui, pada 2017 pemerintah juga pernah menyetop keran ekspor konsentrat tembaga Freeport, imbasnya 33.000 karyawan dirumahkan," ujar Emanuel dalam siaran pers kepada Tribun-Papua.com, Jumat (12/5/2023)
Para buruh yang melakukan mogok kerja merupakan korban atas tindakan pemerintah yang menghentikan keran ekspor konsentrat tembaga Freeport hanya demi mendapatkan 51 persen saham dalam PTFI.
Sepak Terjang Investasi Freeport Masuk ke Papua
Keberadaan Freeport di Indonesia tak lepas dari jatuhnya kekuasaan Presiden Sokarno dan kepemimpinan Presiden Soeharto.
Soeharto yang kala itu menjadi Presiden ke-2 RI menggantikan Soekarno, memberikan izin kepada Freeport Sulphur of Delaware untuk menambang di�Papua.
Izin tersebut diberikan Soeharto pada 7 April 1967, belum genap dua bulan setelah resmi menjadi presiden kedua Indonesia.
Freeport adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) pertama di Tanah Air.
Dilansir dari�Kontan, selama masa pemerintahan Orde Lama,�Presiden Soekarno�sama sekali belum pernah mengizinkan investasi perusahaan�asing�di Indonesia.
Saat�Orde Baru�masih berumur jagung, ekonomi Indonesia terbilang masih karut-marut.
Meletusnya peristiwa�G30S�dan huru-hara di sejumlah daerah pasca-peralihan kekuasaan membuat situasi ekonomi tidak stabil.
Salah satunya adalah inflasi yang mencapai 600-700 persen yang ditandai dengan meroketnya harga kebutuhan pangan.
Otomatis, pembangunan infrastruktur terhenti saat itu.
Baca juga: Ribuan Buruh PT Freeport Mogok Kerja, LBH Papua: Presiden Jokowi Segera Gelar Mediasi!
Presiden Soeharto bergerak cepat melakukan stabilisasi ekonomi, termasuk membuka keran investasi bagi Freeport.�
Penandatanganan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut dilakukan di Departemen Pertambangan Indonesia.
Ketika itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan Freeport Sulphur.
Penandatanganan KK disaksikan pula oleh Duta Besar�Amerika Serikat�untuk Indonesia, Marshall Green.
Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan.
Soeharto Resmikan Operasional Freeport
Namun meski sudah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia di tahun 1967, Freeport baru bisa benar-benar menambang emas dan tembaga di Papua pada tahun 1973.
Penambangan Ertsberg dimulai Freeport pada Maret 1973. Pada Desember 1973 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan tujuan Jepang.
Saat itu, Presiden Soeharto bahkan terbang langsung ke Papua untuk meresmikan fasilitas produksi di Tembagapura.
Dalam pidatonya, Soeharto begitu tampak sumringah dengan keberhasilan pertambangan di Freeport.
Menurut Soeharto, investasi Freeport di Indonesia adalah bukti kepercayaan investor menanamkan uangnya di Indonesia.
Baca juga: 2.340 Meter Panjang Runway Bandara Mozes Kilangin Timika Dibangun di Masa PT Freeport Indonesia
Praktis setelah masuknya Freeport, arus investasi asing begitu deras masuk ke Indonesia, terbesar berasal dari AS dan Jepang.
Freeport diberikan izin menambah selama jangka waktu 30 tahun dalam skema�Kontrak Karya�(KK) yang bisa diperpanjang.
Di awal kehadirannya, Freeport juga sempat berkonflik dengan penduduk setempat, terutama Suku Amungme.
Dalam�kontrak karya�pertama disepakati, royalti untuk pemerintah Indonesia dari penambangan tembaga yang dilakukan Freeport sebesar 1,5 persen dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari 0.9 dollar AS/pound) sampai 3,5 persen dari harga jual (jika harga 1.1 dollar AS/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1 persen dari harga jual.
Baca juga: Jokowi Diminta Buka Perundingan dengan Ribuan Karyawan PT Freeport, 8.300 Buruh Mogok Kerja
Jelang Kontrak Karya berakhir, Freeport menemukan cadangan Grasberg atau tepatnya pada periode tahun 1980-1989.
Lalu pada tahun 1991, pemerintah Indonesia kemudian mengizinkan Freeport terus menambang di Papua untuk jangka waktu 30 tahun ke depan atau hingga tahun 2021 dengan hak perpanjangan sampai dengan 2 kali 10 tahun.
Di Papua, Freeport tak hanya menambang tembaga, namun juga menambang emas dan perak.
Grasberg bahkan disebut-sebut sebagai tambang emas terbesar di dunia. (*)
Sumber: papua.tribunnews.com
Artikel Terkait
Natasha Rizky Menangis Ungkap Kebaikan Hati Desta, Tetap Biayai Mantan Mertua Meski Sudah Cerai
Prabowo Mau Bangun Penjara Koruptor di Pulau Terpencil? Ini 7 Lokasi yang Pas!
Mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba Meninggal Dunia, KPK Bahas Kelanjutan Kasusnya
Beredar Rekaman Suara Baim Wong Marahi Paula Verhoeven: Gak Usah Pura-Pura, Siapa yang Bego