TRIBUNJOGJA.COM - Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah garis lurus yang menghubungkan Tugu Golong Gilig (Tugu Jogja), Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Jika ditarik lagi ke arah utara dan selatan, Sumbu Filosofi Yogyakarta juga memuat garis imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi, Tugu Golong Gilig (Tugu Jogja), Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak, sampai Laut Selatan
Sumbu Filosofi Yogyakarta berpusat di Keraton Yogyakarta.�
Adapun makna Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah lambang keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas), dan manusia dengan alam.
Keselarasan hubungan manusia dengan alam termasuk lima komponen pembentuknya, yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), serta akasa (ether).�
Sosok yang mencetuskan Sumbu Filosofi Yogyakarta ini, tak lain adalah Raja Pertama Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I.�
Beliau pula yang membangun Keraton Yogyakarta.
Klik di sini untuk membaca kisah hidup Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Klik di sini untuk membaca kisah Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Dirangkum Tribunjogja.com dari laman resmi Kratonjogja.id, berikut kisah tentang Sri Sultan Hamengku Buwono III, cucu dari pembangun Keraton Yogyakarta, dan ayah dari Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro.
Masa kecil Sri Sultan Hamengku Buwono III
Sri Sultan Hamengku Buwono III adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton.
Ia dilahirkan pada 20 Februari 1769 dan memiliki nama kecil Raden Mas (RM) Surojo.
Dalam biografi Tan Jin Sing, disebutkan bahwa RM Surojo adalah sosok yang pendiam.
Cucu dari Raja Pertama Yogyakarta ini juga sosok yang cenderung mengalah.
Desember 1810
Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono III genap berusia 41 tahun, yakni pada Desember 1810, terjadi manuver pasukan Belanda ke Keraton Yogyakarta.
Manuver Belanda tersebut merupakan buntut perseteruan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II (ayah Sri Sultan Hamengku Buwono III) dengan Letnan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.�
Sebagai informasi, mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), manuver adalah gerakan yang tangkas dan cepat dari pasukan dalam perang atau latihan perang-perangan oleh militer.
Akibat dari perseteruan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono Il dilengserkan dari jabatannya sebagai Raja Yogyakarta.
Kolonial Belanda membuat Sri Sultan Hamengku Buwono II lengser dari takhta.
Kemudian, RM Surojo diangkat sebagai regent atau wakil Raja. Ia pun lantas bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Di sisi lain, Sri Sultan Hamengku Buwono II masih tetap diizinkan untuk tinggal di dalam keraton dengan sebutan Sultan Sepuh.
Baca juga: Sejarah Keraton Yogyakarta, Histori Sejak Perjanjian Giyanti 1755 sampai Kemerdekaan RI 1945
Baca juga: Inilah 6 Dapur atau Pawon Keraton Yogyakarta, Tempat Membuat Makanan dan Minuman Sultan
Desember 1811
Nyaris setahun kemudian, tepatnya 28 Desember 1811, Sri Sultan Hamengku Buwonmo III lengser dari takhta.
Kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali naik tahta.
Saat itu, tentara Inggris berhasil mengalahkan bala tentara Belanda dan merebut tanah Jawa.
Pada kurun waktu tersebut, Pangeran Notokusumo, adik dari Sri Sultan Hamengku Buwono II (dari ibu yang berbeda) bertindak sebagai mediator antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan pihak Inggris.
Di kemudian hari, Pangeran Notokusumo menjadi sahabat Letnan Gubernur Jenderal Inggris karena pemahamannya yang tinggi atas sastra dan kebudayaan Jawa.
Semula, Letnan Gubernur Jenderal Inggris mengakui Sri Sultan Hamengku Buwono II sebagai penguasa sah Kasultanan Yogyakarta, dan mengangkat RM Surojo sebagai Adipati Anom.�
Namun, dukungan dan pengakuan itu hanya berlangsung kurang dari setahun.
Sebab, Sri Sultan Hamengku Buwono II memiliki sifat keras dan anti pihak asing.
Akibatnya, ia tidak lagi mendapat dukungan dari pihak Inggris.
21 Juni 1812
Pada 21 Juni 1812, Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan.
Adipati Anom (RM Surojo) kemudian naik takhta untuk yang kedua kalinya, dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Pada saat bersamaan, dengan pengangkatan Adipati Anom sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono III, putra sulungnya yang lahir dari selir, yakni RM Antawirya, diberi gelar Bendara Pangeran Ario Diponegoro.�
RM Antawirya kemudian disebut Pangeran Diponegoro.
Alih-alih ikut campur urusan istana, Pangeran Diponegoro justru memilih untuk tinggal bersama neneknya di Desa Tegalrejo, sebelah barat laut Keraton Yogyakarta.
Ia tinggal di sana untuk mendalami ilmu agama.�
Pangeran Diponegoro memiliki sifat keras dan anti pihak asing, sama seperti kakeknya, Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Putra sulung Raja Yogyakarta itu tidak mau tunduk kepada bangsa asing.
Pangeran Diponegoro mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Tercatat dalam sejarah, perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro untuk melawan penjajah adalah perang yang paling menguras energi dan biaya.
Perubahan batas wilayah Keraton Yogyakarta
Sejak kedatangan Inggris ke tanah Jawa, peta geopolitik Kasultanan Yogyakarta berubah drastis.�
Keraton Yogyakarta harus melepaskan Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang, dan Grobogan untuk dikuasai Inggris dengan ganti rugi sebesar 100.000 real per tahun.�
Pada masa ini pula, Sri Sultan Hamengku Buwono III harus menyerahkan 4.000 cacah wilayah Adikarto (Kulon Progo) kepada Pangeran Notokusumo, yang kemudian menjadi pangeran merdika (otonom) di dalam Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I (1813-1829).�
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono III juga harus menyerahkan 1.000 cacah lagi wilayahnya kepada Kapiten Cina, Tan Jin Sing, atas bantuan yang diberikan selama Sri Sultan Hamengku Buwono III masih berkedudukan sebagai Putra Mahkota.�
Kelak Sri Sultan Hamengku Buwono III mengangkat Tan Jin Sing menjadi Bupati Yogyakarta dan memberinya gelar KRT Secadiningrat.
Baca juga: Mengenal 12 Pangkat Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dan Proses Kenaikan Pangkatnya
Baca juga: Sejarah dan Tata Cara Penyajian Teh bagi Raja Keraton Yogyakarta: Ladosan Pangunjukan Dalem
Nasib Prajurit Keraton Yogyakarta
Bukan hanya wilayah yang berubah, prajurit Keraton Yogyakarta juga ikut mengalami perubahan setelah Inggris ikut campur dalam urusan istana.
Inggris melarang Raja Yogyakarta memiliki kekuatan militer apapun selain yang diizinkan oleh pemerintah kolonial.�
Sebagai gantinya, pasukan Inggris dan Sepoy menjadi resimen utama pengamanan istana.�
Akibatnya, sebanyak lebih dari 9.000 prajurit keraton, termasuk yang dari Bugis dan Bali, hidup menderita.�
Banyak di antara mereka yang kemudian dimobilisasi oleh Inggris untuk bekerja di perkebunan-perkebunan milik kolonial di luar Jawa.
Sri Sultan Hamengku Buwono III wafat
Pada 3 November 1814 atau tanggal 19 Dulkangidah 1741 Tahun Jawa (TJ), Sri Sultan Hamengku Buwono III wafat.
Beliau mangkat (meninggal dunia) pada usia 45 tahun.�
Sri Sultan Hamengku Buwono III dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Masa pemerintahannya tercatat hanya berlangsung selama 865 hari.
Sebelum wafat, Sri Sultan Hamengku Buwono III telah mengangkat Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot sebagai Putra Mahkota.
GRM Ibnu Jarot adalah anak bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono III dari GKR Kencono.
Usai sang ayah meninggal, GRM Ibnu Jarot diangkat jadi Raja Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono IV.
Saat itu, usianya masih 10 tahun.
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono III
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III, dibangunlah Kampung Ketandan.
Lokasinya berada di sebelah timur Jalan Malioboro.
Sampai saat ini, Kampung Ketandan masih ramai sebagai pusat niaga serta budaya Tionghoa di Yogyakarta.
Dulu, Kampung Ketandan merupakan tempat para pekerja pemungut pajak yang digeluti oleh pendatang dari Cina.�
Di sana terdapat sebuah bangunan berloteng yang diperuntukkan bagi penasehat pribadi Sultan, Tan Jin Sing, seorang Kapiten Cina dari Kedu, yang mahir berbagai bahasa.
Selain Kampung Ketandan, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono III lainnya adalah Kyai Mondro Juwolo.
Kyai Mondro Juwolo adalah nama kereta kuda tahan peluru yang didatangkan Sri Sultan Hamengku Buwono III dari Inggris.
Meskipun masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III tergolong singkat, namun sejarah mencatat bahwa pada saat itu rakyat Yogyakarta menikmati suasana yang lebih aman dan makmur. (Tribunjogja.com/ANR)
Sumber: jogja.tribunnews.com
Artikel Terkait
Dikecam Publik Gegara Disertasi Bahlil Cuma Direvisi Bukan Dibatalkan, Respons Rektor: Kami Membina Bukan Membinasakan!
Ditanya Soal CASN Diundur, Jawaban Nyeleneh Gibran Bikin Geleng-Geleng, Publik: Rp 73 Triliun dapatnya Cuma Gini
Ustad Khalid Basalamah akan Isi Kajian di JIS Ramadan Festival
Astaga, Saking Ngefansnya, Sperma Cristian Gonzales Ditawar Rp 10 M, Sang Istri: Anda Gila?