Lahir Dari Rahim Ketidakjujuran: Prabowo, Gibran, Kaesang, dan Bobby Sebagai Produk Politik Jokowi?
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam jagat politik Indonesia, kejujuran seolah menjadi barang mewah yang sulit ditemukan, terutama ketika berbicara tentang keluarga Jokowi.
Jika semiotika mengajarkan bahwa setiap tanda memiliki makna, maka tubuh politik Jokowi adalah sebuah kanvas yang dipenuhi diksi pendusta.
Bukan sekadar julukan kosong, tetapi sebuah simbol yang lahir dari rangkaian kebohongan, manipulasi, dan distorsi realitas yang terus dipertontonkan kepada rakyat.
Dari tubuh yang diselimuti ketidakjujuran ini, lahirlah produk-produk politik yang menjadi warisan dinasti kekuasaan: Gibran sebagai Wakil Presiden, Kaesang sebagai Ketua Umum Partai, Bobby Nasution sebagai calon Gubernur Sumatera Utara, bahkan Prabowo sebagai Presiden yang merupakan hasil kompromi dari permainan politik Jokowi.
Jokowi dan Diksi “Pendusta” yang Melekat dalam Tubuhnya
Dalam perspektif semiotika Ferdinand de Saussure, tanda tidak berdiri sendiri tetapi selalu berhubungan dengan sistem yang membentuknya.
Jika Jokowi adalah tanda, maka petandanya adalah kebohongan yang terus-menerus diproduksi.
Sejak awal kekuasaannya, citra sederhana dan merakyat yang ia bangun bertabrakan dengan realitas yang menunjukkan kecenderungan pada oligarki dan nepotisme.
Janji-janji yang ia ucapkan tentang tidak akan mencalonkan anaknya dalam politik kini terbukti omong kosong.
Dalam konteks semiotika Charles Sanders Peirce, tanda memiliki tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol.
Tubuh politik Jokowi yang dipenuhi kebohongan berfungsi sebagai ikon dari praktik politik dinasti yang ia ciptakan.
Ia juga menjadi indeks dari rusaknya sistem demokrasi Indonesia, di mana aturan dapat diubah sesuka hati demi kepentingan segelintir orang.
Lebih dari itu, ia telah menjelma sebagai simbol ketidakjujuran dalam politik, di mana apa yang dikatakannya hampir selalu bertolak belakang dengan kenyataan.
Produk dari Ketidakjujuran: Gibran, Kaesang, Bobby, dan Prabowo
Ketidakjujuran bukan hanya menjadi pakaian yang melekat pada tubuh Jokowi, tetapi juga menjadi rahim yang melahirkan anak-anak politiknya.
Keberadaan Gibran sebagai Wakil Presiden bukanlah hasil dari kompetisi yang sehat, melainkan produk dari manipulasi hukum yang memungkinkan seseorang yang belum memenuhi syarat usia untuk mencalonkan diri.
Dalam hal ini, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberi jalan bagi Gibran menjadi contoh nyata bagaimana hukum bisa direkayasa demi kepentingan keluarga penguasa.
Kaesang, yang tiba-tiba muncul sebagai Ketua Umum PSI, juga merupakan tanda lain dari bagaimana politik dinasti dipertontonkan secara vulgar.
Dengan pengalaman politik yang nyaris nol, ia tiba-tiba menjadi pemimpin partai yang seharusnya berbicara tentang reformasi dan demokrasi.
Sementara Bobby Nasution, menantu Jokowi, menjadi calon Gubernur Sumatera Utara bukan karena rekam jejak yang luar biasa, tetapi karena akses kekuasaan yang diwarisi dari mertuanya.
Lebih jauh lagi, Prabowo sebagai Presiden yang naik berkat dukungan Jokowi adalah contoh nyata bagaimana lawan politik bisa dijinakkan dan diubah menjadi sekutu demi melanggengkan kepentingan tertentu.
Jokowi berhasil memainkan peran ganda: di satu sisi, ia membangun citra bahwa ia menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Prabowo, tetapi di sisi lain, ia tetap menanamkan pengaruhnya melalui keluarga dan jaringan loyalisnya.
Ketidakjujuran yang Dimahkotai sebagai Legitimasi Kekuasaan
Jika dalam semiotika sebuah tanda memperoleh maknanya dari relasi dengan tanda-tanda lain, maka tanda “Jokowi” tidak bisa dilepaskan dari tanda-tanda ketidakjujuran yang mengitarinya.
Dengan kata lain, ketidakjujuran bukan sekadar bagian dari strategi politiknya, tetapi sudah menjadi identitas yang melekat pada setiap kebijakan, keputusan, dan langkah politik yang ia ambil.
Dalam sistem politik yang sehat, kejujuran seharusnya menjadi mahkota yang dikenakan oleh pemimpin.
Namun dalam era Jokowi, justru ketidakjujuran yang dimahkotai, diwariskan, dan dijadikan sebagai landasan legitimasi kekuasaan.
Maka tak heran jika setiap produk politik yang lahir dari rahim ketidakjujuran ini tidak mendapat tempat di hati rakyat yang masih berpikir kritis.
Pada akhirnya, semiotika kejujuran dalam politik Indonesia telah mati. Yang tersisa hanyalah tanda-tanda ketidakjujuran yang terus direproduksi, diwariskan, dan dinormalisasi sebagai bagian dari permainan kekuasaan.
Dan selama rakyat masih membiarkan ini terjadi, selama itu pula kita akan terus menyaksikan dinasti kebohongan yang tumbuh subur tanpa perlawanan. ***
Artikel Terkait
Tunjangan Guru ASN Ditransfer Langsung ke Rekening, Prabowo: Indonesia Cerah
KPK Tetapkan 2 Petinggi bank bjb Tersangka, 3 Lainnya Swasta
Tampang Brigadir AK Oknum Polisi yang Diduga Bunuh Bayinya di Semarang
Prabowo Bakal Bikin Penjara Khusus Koruptor di Pulau Terpencil