NARASIBARU.COM - Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan sejak era Orde Lama, Orde Baru, dan seterusnya. Namun, dalam perjalanannya, upaya tersebut dinilai belum berhasil secara maksimal.
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, menilai kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan oleh sifatnya yang sistemik.
"Ini berbeda dengan negara-negara maju seperti Singapura, Jepang, atau Amerika, di mana korupsi bersifat kasuistis, hanya terjadi dalam kasus tertentu dan tidak merusak sistem secara keseluruhan," kata Samad saat sarasehan Kebangsaan bertema Urgensi Berantas Kejahatan Korupsi Secara Tuntas Paripurna" yang digelar Aliansi Kebangsaan secara daring, Jumat (14/3/2025).
Selain Abraham Samad, sarasehan yang dibuka secara resmi oleh Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, itu juga menghadirkan Agus Raharjo, Ketua KPK periode 2015-2019, Laksda TNI (Purn) Robert Mangindaan, dan Prof. Sudjito Atmoredjo, Guru Besar UGM.
Dikatakan Samad, korupsi di Indonesia bersifat sistemik, yang berarti merusak seluruh sendi sistem negara dan kebangsaan.
Korupsi sistemik ini berkaitan dengan konsep state capture corruption, yaitu korupsi yang dilakukan oleh sekelompok individu atau oligarki yang secara sistematis memengaruhi kebijakan, hukum, dan regulasi di suatu negara.
"Kelompok ini dapat memengaruhi individu, kelompok lain, atau perusahaan swasta untuk mengubah kebijakan publik demi kepentingan pribadi atau kelompok," lanjut Samad.
Samad menyatakan bahwa diperlukan komitmen kuat dari pemimpin, integrasi pendekatan penindakan dan pencegahan, serta perbaikan sistem integritas nasional untuk meminimalkan korupsi di Indonesia.
"Belajar dari China, Indonesia perlu menerapkan hukuman berat, pemiskinan koruptor, dan sanksi sosial sebagai bagian dari strategi pemberantasan korupsi," ujarnya.
Menurutnya, pemberantasan korupsi harus mengintegrasikan pendekatan penindakan yang regresif, seperti membawa pelaku ke pengadilan dan memberikan hukuman berat, dengan pendekatan pencegahan, seperti memperbaiki sistem integritas nasional. Kedua pendekatan ini harus berjalan beriringan, tidak boleh dipisahkan.
Selain itu, perbaikan sistem integritas nasional sangat diperlukan, baik dari segi kelembagaan maupun individu. "Setiap kementerian, lembaga, dan organisasi pemerintah harus menjalankan sistem integritas yang baik. Selain itu, karakter dan moralitas bangsa juga perlu dibangun kembali," tambahnya.
Samad menyoroti keberhasilan China dalam memberantas korupsi secara efektif dengan menerapkan tiga strategi utama: hukuman berat, pemiskinan koruptor, dan sanksi sosial.
"China memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku korupsi, termasuk hukuman mati. Di Indonesia, meskipun undang-undang sudah memadai, penegakan hukum sering kali lemah sehingga hukuman berat sulit diterapkan," jelasnya.
China juga memiliki undang-undang perampasan aset yang memungkinkan negara menyita kekayaan koruptor. "Di Indonesia, undang-undang semacam ini belum ada, sehingga upaya pemiskinan koruptor sulit dilakukan," katanya.
Selain itu, China mendorong masyarakat untuk memberikan sanksi sosial kepada mantan koruptor, seperti mengucilkan mereka dari kehidupan sosial dan politik.
"Di Indonesia, sanksi sosial seperti ini hampir tidak ada. Bahkan, mantan koruptor sering kali masih dihormati," tambahnya.
Menurut Samad, ada beberapa kendala utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, antara lain lemahnya penegakan hukum, karena lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sering kali tidak konsisten dalam memberikan hukuman berat kepada koruptor.
Kemudian, tidak adanya Undang-Undang Perampasan Aset yang efektif, sehingga upaya pemiskinan koruptor sulit dilakukan.
"Juga rendahnya sanksi sosial terhadap mantan koruptor, di mana mereka masih dihormati dan bahkan diberi kesempatan kembali ke dunia politik," katanya.
Samad mengusulkan agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai alat untuk memiskinkan koruptor serta merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi guna memasukkan sanksi yang lebih berat, seperti yang diterapkan di China.
"Perbaikan sistem integritas nasional, baik di tingkat kelembagaan maupun individu, perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi. Selain itu, masyarakat harus didorong untuk memberikan sanksi sosial kepada mantan koruptor, seperti mengucilkan mereka dari kehidupan sosial dan politik," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Agus Raharjo mengatakan, sampai saat ini belum satu pun presiden yang pernah memimpin Indonesia yang membangun secara kuat penanganan dan pencegahan korupsi.
Menurut Agus, dengan penduduk mayoritas Islam mencapai 87,4 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, mestinya memberantas korupsi tidak sulit.
"Namun nyatanya, nilai-nilai Islam belum tercermin pada perilaku antikorupsi, padahal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sudah mengeluarkan hukum atau fatwa tentang korupsi," katanya.
Prof. Sudjito Atmoredjo mengatakan korupsi merupakan extraordinary crime yang terjadi karena ada niat jahat dan juga kesempatan serta berimplikasi pada rusaknya sendi-sendi kehidupan bernegara.
Pontjo Sutowo mengatakan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selalu menghadapi hambatan dan tantangan yang luar biasa hebatnya.
"Saat ini negara tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah yang sah, akan tetapi oleh jaringan kepentingan yang beroperasi di belakang layar. Jadi bukan lagi persoalan individu yang korup, tetapi merupakan sistem yang dirancang agar korupsi bisa berjalan pada mekanisme kerja negara," ujar Pontjo.
Menurutnya, demi menguras sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya ekonomi nasional, baik untuk kepentingan individu, pihak tertentu, sekelompok orang, bahkan negara asing, pejabat korup tidak akan segan memanipulasi prinsip rule of law menjadi rule by law.
Melalui otokratisasi, sejumlah pejabat korup akan beroperasi bersama oligarki yang serakah.
"Mereka atas nama negara kemudian mengambil alih tanah dan wilayah yang di dalamnya terkandung kekayaan alam dari kerajaan-kerajaan Nusantara, dari masyarakat adat yang sudah ratusan tahun menghuni tanah atau wilayah tersebut," lanjut Pontjo.
Sumber: tribunnews
Artikel Terkait
KontraS Kritik Keras Revisi UU TNI, Ketua Komisi I DPR Utut Adianto: Mereka Kita Undang Nggak Mau
Kabar Persija Jakarta Tunggak Gaji Pemain, Erick Thohir Beri Respons Mengejutkan
Melihat Suasana Rapat Panja RUU TNI yang Digelar Tertutup di Hotel Mewah hingga Sempat Didobrak
Ketua Serikat Buruh Sritex Sebut Eks Karyawan Belum Terima THR, Tunggu Ada Investor Baru