Oleh: T.H. Hari Sucahyo*
ISU mengenai kemungkinan Sri Mulyani mundur atau di-reshuffle dari kabinet kembali mencuat. Sebagai Menteri Keuangan yang telah menjabat di dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, Sri Mulyani dikenal tangguh dalam menjaga stabilitas fiskal. Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini murni alasan teknis atau ada faktor politik yang lebih besar?
Sri Mulyani bukanlah sosok yang asing dalam menghadapi tekanan. Sejak menjabat, ia berulang kali berhadapan dengan kritik dari berbagai pihak, baik dari dalam pemerintahan maupun luar. Tantangan terbesarnya adalah mengelola kebijakan fiskal di tengah pandemi, yang memaksa pemerintah meningkatkan utang dalam jumlah besar. Meski strategi ini efektif menopang perekonomian, dampaknya tetap menjadi perdebatan, terutama terkait meningkatnya defisit APBN dan rasio utang terhadap PDB.
Selain itu, kebijakan penghapusan subsidi BBM dan peralihan ke bantuan langsung tunai juga menuai pro dan kontra. Kebijakan ini dianggap realistis untuk menjaga keseimbangan anggaran negara, tetapi di sisi lain memicu gejolak sosial akibat naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Kritik terhadap kebijakan fiskal Sri Mulyani kerap datang dari kelompok yang merasa dirugikan, seperti industri tertentu yang bergantung pada insentif pajak atau subsidi energi.
Dinamika politik juga memainkan peran penting dalam isu ini. Dalam pemerintahan yang sarat kepentingan koalisi, reshuffle sering kali bukan hanya soal kinerja, tetapi juga strategi kekuasaan. Posisi Menteri Keuangan sangat strategis karena menentukan arah kebijakan ekonomi nasional, termasuk dalam menentukan distribusi anggaran bagi berbagai sektor dan daerah.
Dengan mendekatnya tahun politik, ada kemungkinan dorongan dari kelompok tertentu untuk menempatkan figur yang lebih selaras dengan agenda politik tertentu. Jika benar Sri Mulyani akan digantikan, pertanyaan besar yang muncul adalah siapa yang layak mengambil alih perannya? Apakah penggantinya akan memiliki kapasitas dan kredibilitas yang sama di mata publik dan investor internasional?
Sosok pengganti tentu harus memiliki kapasitas yang sama atau lebih baik dalam mengelola kebijakan fiskal. Salah satu kandidat potensial yang sering disebut adalah Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan era SBY. Pengalamannya menghadapi krisis ekonomi pada 2013-2014 bisa menjadi nilai tambah, terutama dalam menjaga stabilitas ekonomi dalam situasi penuh tekanan.
Nama lain yang disebut adalah Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia. Ia memiliki pemahaman mendalam tentang kebijakan moneter dan fiskal, serta sudah terbiasa menghadapi tekanan ekonomi global. Namun, jika reshuffle lebih didasarkan pada pertimbangan politik daripada teknokratis, posisi ini bisa diberikan kepada tokoh yang dekat dengan partai politik penguasa. Hal ini tentu akan berdampak pada kebijakan ekonomi yang akan diterapkan.
Jika Sri Mulyani benar-benar lengser, dampak terhadap perekonomian tentu tidak bisa diabaikan. Kepercayaan investor internasional bisa terguncang, terutama jika penggantinya dianggap kurang kredibel. Hal ini dapat berimplikasi pada melemahnya nilai tukar rupiah, meningkatnya risiko investasi, dan meningkatnya imbal hasil surat utang negara karena pasar menjadi lebih skeptis terhadap kebijakan fiskal ke depan.
Selain itu, kebijakan reformasi fiskal yang selama ini dijalankan bisa mengalami perubahan drastis. Ini tergantung pada arah kebijakan menteri yang baru. Jika penggantinya lebih fleksibel dalam mengelola anggaran, mungkin akan ada kebijakan yang lebih populis, seperti peningkatan subsidi atau insentif pajak bagi industri tertentu. Namun, pendekatan ini juga berisiko memperbesar defisit anggaran jika tidak diimbangi dengan penerimaan negara yang memadai.
Beberapa pihak menilai kebijakan fiskal Sri Mulyani terlalu konservatif dalam pengelolaan utang dan subsidi. Dengan menteri baru, bisa jadi akan ada lebih banyak fleksibilitas dalam penggunaan anggaran untuk kepentingan domestik. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa berisiko bagi stabilitas fiskal jangka panjang, yang pada akhirnya justru merugikan perekonomian nasional.
Reshuffle atau mundurnya Sri Mulyani juga bisa berdampak pada hubungan Indonesia dengan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Sebagai mantan pejabat tinggi Bank Dunia, Sri Mulyani memiliki jaringan kuat di tingkat global yang membantu menjaga reputasi ekonomi Indonesia. Jika penggantinya tidak memiliki hubungan yang sama baiknya, akses terhadap kerja sama dan investasi internasional bisa menjadi lebih sulit.
Apapun keputusan yang diambil, dampaknya tidak hanya dirasakan dalam kabinet, tetapi juga dalam perekonomian nasional. Apakah ini upaya memperbaiki kebijakan ekonomi atau strategi politik menjelang pemilu, hanya waktu yang bisa menjawab. Yang jelas, setiap pergantian pejabat tinggi di bidang ekonomi selalu membawa ketidakpastian yang harus diantisipasi oleh pelaku ekonomi dan masyarakat secara luas.
Keuangan negara adalah aspek yang terlalu penting untuk dipermainkan. Siapapun yang mengisi posisi Menteri Keuangan harus memiliki kapasitas serta keberanian dalam menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Publik harus mengawasi dan memastikan bahwa keputusan yang diambil bukan semata demi kepentingan politik sesaat, melainkan benar-benar demi kesejahteraan bangsa.
*(Penulis adalah Peminat bidang Sosial, Politik, dan Humaniora, Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol )
Artikel Terkait
Minta “Tambah” Tapi Tak Punya Uang, Pria di Bali Ditusuk Bodyguard Perempuan MiChat
Viral Video Syur Dua Sejoli di Bawah Jembatan Barito Ramai Dicari Netizen
Viral Demo Tolak RUU TNI di DPRD Sulut Ricuh, Pendemo Vs Polisi Duel di Atas Truk
Puan Minta Sudahi Panas Vs PDIP, Jokowi: Yang Mulai Dulu Siapa