Wartawan senior Dhandhy Laksono di akun X (Twitter) menyamakan Joko Widodo (Jokowi) dengan “penggembala kambing yang nge-prank warga dengan teriakan ‘Tolong, ada serigala’” menjadi perhatian publik. Dalam analisisnya, Dhandhy menggambarkan bahwa seringnya Jokowi menggunakan narasi-narasi yang cenderung manipulatif dan penuh dengan gimik, telah membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kata-kata dan tindakan pemerintah. Pernyataan ini bukan hanya kritik terhadap gaya komunikasi Jokowi, tetapi juga sebuah sindiran terhadap kredibilitas yang telah lama dipertanyakan.
Dhandhy Laksono menggunakan metafora “penggembala kambing yang nge-prank warga dengan teriakan ‘Tolong, ada serigala’” untuk menggambarkan kebiasaan Presiden Jokowi yang kerap kali menggunakan taktik dramatis atau kontroversial dalam komunikasi politiknya. Dalam kisah ini, sang penggembala sering kali berteriak meminta pertolongan bahwa ada serigala yang mengancam kambing-kambingnya, meski pada kenyataannya tidak ada bahaya yang nyata. Karena seringnya teriakan palsu ini, ketika serigala beneran datang, warga yang mendengar teriakan tersebut justru meragukan kebenaran ancaman tersebut.
Metafora ini menggambarkan sebuah kondisi di mana ketidakjujuran atau kebohongan yang sering dilakukan oleh pemimpin politik, dalam hal ini Jokowi, telah membuat masyarakat kehilangan kepercayaan. Ketika suatu saat ada ancaman atau situasi yang benar-benar mengkhawatirkan, masyarakat jadi enggan untuk mempercayainya, karena terbiasa dengan narasi yang berlebihan atau tidak benar.
Dhandhy tidak hanya mengkritik kebiasaan Jokowi menggunakan taktik “teriak serigala”, tetapi juga menyoroti penggunaan narasi yang cenderung manipulatif dan sering kali berlebihan. Salah satu contoh yang sering menjadi sorotan adalah pengumuman-pengumuman atau klaim besar yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa bukti yang kuat atau tanpa penjelasan yang memadai. Terkadang, keputusan-keputusan yang diambil terkesan didorong oleh ambisi politik atau untuk kepentingan jangka pendek, yang hanya memperburuk ketidakpercayaan publik.
Selain itu, pemerintahan Jokowi sering kali mengandalkan berbagai gimik atau klaim dramatis yang tujuannya adalah untuk menarik perhatian masyarakat, tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut benar-benar relevan atau dibutuhkan oleh publik. Klaim tentang pencapaian besar dalam pembangunan atau ekonomi sering kali dibarengi dengan narasi yang mengabaikan realitas lapangan atau fakta yang lebih kompleks. Ini adalah salah satu bentuk “prank” yang dimaksudkan oleh Dhandhy, yaitu komunikasi politik yang lebih fokus pada pencitraan ketimbang substansi yang nyata.
Menurut Dhandhy, akibat dari kebiasaan tersebut, masyarakat semakin tidak percaya pada pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saat situasi krisis atau tantangan besar datang—seperti misalnya ancaman ekonomi, bencana alam, atau potensi kerusuhan sosial—masyarakat cenderung skeptis dan meragukan apakah ancaman tersebut benar adanya. Hal ini tentu saja berbahaya bagi stabilitas sosial dan politik, karena tanpa adanya rasa saling percaya antara pemerintah dan warga negara, akan sulit untuk mengatasi masalah bersama.
Kredibilitas menjadi sangat penting dalam sebuah pemerintahan. Ketika kepercayaan terhadap pemerintah runtuh, komunikasi antar elemen masyarakat juga terganggu. Rakyat mungkin merasa tidak perlu lagi memperhatikan peringatan atau tindakan pemerintah, karena telah terbiasa dengan narasi yang dianggap kosong dan tidak beralasan.
Kritik Dhandhy Laksono terhadap gaya komunikasi Jokowi juga membuka ruang untuk merenungkan apakah Jokowi terlalu fokus pada pencitraan ataukah memang ada masalah mendalam yang perlu diselesaikan. Di satu sisi, Jokowi dikenal sebagai sosok yang sangat fokus pada infrastruktur dan pembangunan fisik, namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kebijakan-kebijakan tersebut sering kali diliputi oleh narasi yang berlebihan tanpa adanya substansi yang kuat.
Ini menuntut adanya evaluasi lebih lanjut terhadap kebijakan komunikasi pemerintahan, apakah benar-benar berfokus pada masalah rakyat atau hanya untuk kepentingan jangka pendek. Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap informasi dari pemerintah bisa berujung pada polarisasi yang lebih dalam, di mana informasi yang keluar dari pemerintah akan selalu dicurigai dan diperiksa dengan seksama.
Metafora Dhandhy Laksono tentang “penggembala kambing yang nge-prank warga” mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga kredibilitas dalam berkomunikasi, terutama bagi seorang pemimpin. Ketika seorang pemimpin terus menerus berbicara tanpa memberikan bukti yang jelas dan transparan, kepercayaan masyarakat akan terkikis.
Sumber: suaranasional
Foto: Dhandhy Dwi Laksono (IST)
Artikel Terkait
Makin Ngeri! Usai Teror Kepala Babi, Kantor Redaksi Tempo Kini Dikirimi Bangkai Tikus Termutilasi
Kepala BGN Sebut Timnas Kerap Kalah Tanding karena Kekurangan Gizi
Link Video 30 Menit Cella atau Calla Pramuka Viral di Medsos, Benarkah Isinya Siswi SMP?
Ada Pengkhianat, Video Viral Ormas Minta THR Ternyata Direkam Teman Sendiri, Berakhir Diciduk Polisi