DALAM sebuah pidato yang penuh semangat, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan pernyataan yang menggelitik telinga: “Biar anjing menggonggong, kita akan maju terus.” Peribahasa ini, jika ditelaah, mengandung makna bahwa perjalanan harus terus berlanjut tanpa terganggu oleh kritik atau cemoohan.
Dalam pidato peresmian kawasan ekonomi khusus Industripolis di Batang, Jawa Tengah, itu Prabowo juga kembali memuji Jokowi karena telah meletakkan fondasi pembangunan kawasan tersebut. Ia meyakini bahwa Batang akan menjadi semacam Shenzhen di Tiongkok --pusat produksi teknologi maju yang berpengaruh di dunia.
Namun, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: siapa sebenarnya “anjing” dalam peribahasa ini? Apakah sekadar watchdog, ataukah para kritikus, demonstran, bahkan rakyat yang menyuarakan keresahan mereka? Jika demikian, apakah bijak menganggap suara-suara tersebut sebagai sekadar gonggongan yang layak diabaikan?
Ini bukan kali pertama Presiden Prabowo melontarkan pernyataan yang mengundang tanya. Sebelumnya, ia juga pernah mengeluarkan ungkapan “Ndasmu!” --ekspresi khas Jawa yang bisa berarti banyak hal, dari candaan akrab hingga teguran tajam.
Jika kita tarik benang merahnya, muncul pertanyaan mendasar: apakah ungkapan-ungkapan ini mencerminkan gaya kepemimpinan yang tegas, atau justru menunjukkan kecenderungan untuk meremehkan kritik dan orang lain?
Penyanyi Sunda, Doel Sumbang, pernah merilis lagu “Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu,” yang berkisah tentang cinta yang tak tergoyahkan oleh omongan orang. Namun, ketika peribahasa ini diterapkan dalam konteks pemerintahan, apakah berarti pemerintah harus tetap melaju tanpa mendengarkan suara rakyatnya?
Kritik dan protes merupakan bagian integral dari demokrasi. Itu semua bukan sekadar “gonggongan” tanpa arti, melainkan ekspresi keresahan dan harapan rakyat. Mengabaikan suara-suara ini sama saja dengan menutup telinga terhadap realitas.
Seperti kata pepatah, “Suara rakyat adalah suara Tuhan.” Jika “anjing menggonggong” adalah rakyat yang menjerit, apakah bijak bagi “kafilah” pemerintah untuk berlalu begitu saja tanpa menoleh?
Apakah adil bagi seorang presiden yang meminta para menterinya memperbaiki komunikasi dengan rakyat, sementara komunikasinya sendiri justru menimbulkan pertanyaan?
Prabowo menegaskan bahwa pemerintahannya menganut politik bersahabat dengan semua negara, bahwa investasi besar akan mengalir, dan delapan juta lapangan kerja akan tercipta dalam lima tahun ke depan. Ini tentu kabar baik.
Namun, di tengah optimisme ini, ribuan mahasiswa turun ke jalan menolak revisi Undang-Undang TNI, sementara indeks saham anjlok hingga Bursa Efek Indonesia menghentikan perdagangan sementara. Apakah ini juga bagian dari “gonggongan” yang harus dibiarkan berlalu?
Jika pemerintah adalah “kafilah” dan rakyat adalah “anjing,” maka peribahasa ini menjadi problematis. Bukankah dalam demokrasi, suara rakyat bukan sekadar latar belakang yang boleh diabaikan, melainkan nyanyian utama yang harus didengar?
Jika Prabowo ingin menegaskan bahwa ia menghormati kritik tetapi tetap fokus melangkah maju, ada ungkapan atau peribahasa yang lebih bijak dan inklusif daripada “Biar anjing menggonggong, kafilah berlalu.”
Misalnya, ungkapan: “Kritik adalah bagian dari perjalanan, tapi arah tetap harus jelas.” Ini menunjukkan bahwa kritik tidak diabaikan, tetapi tidak boleh membuat arah kepemimpinan menjadi goyah.
Ungkapan elegan lainnya: “Angin bisa berembus ke segala arah, tapi kapal tetap menuju tujuannya.” Ini menggambarkan bahwa ada dinamika dan hambatan di perjalanan, tetapi fokus tetap pada tujuan utama.
Prabowo bisa mengatakan peribahasa dengan idiom binatang lainnya, “Burung yang terbang tinggi tetap mendengar suara di bawahnya.” Ini simbol keseimbangan antara kepemimpinan yang visioner dengan tetap mendengarkan rakyat.
Atau, dia bisa menegaskan, “Kita dengarkan semua suara, tapi keputusan tetap harus diambil.” Ini menggarisbawahi bahwa mendengar kritik adalah penting, tetapi seorang pemimpin tetap harus tegas dalam mengambil keputusan.
Peribahasa yang agak puitis juga ada, “Ladang subur tak hanya menerima hujan, tapi juga angin dan badai.” Ini menunjukkan bahwa kritik adalah bagian dari proses pertumbuhan dan pembangunan.
Jika Prabowo ingin menunjukkan ketegasan tetapi tetap menghormati kritik, ungkapan atau peribahasa seperti ini akan terdengar lebih elegan dan membangun daripada yang terkesan merendahkan pihak lain.
Kita tentu ingin Indonesia menjadi negara yang kuat, makmur, dan dihormati dunia. Namun, jika dalam perjalanannya kritik dan masukan dari rakyat hanya dianggap sebagai gangguan yang layak diabaikan, jangan salahkan jika nanti “gonggongan” itu berubah menjadi raungan yang lebih besar.
Sejarah telah membuktikan, kafilah yang terlalu lama berjalan tanpa mendengar bisa saja tersesat di padang pasir yang luas.
Jadi, mungkin sudah saatnya kita memodifikasi peribahasa tersebut: “Biar anjing menggonggong, kafilah berhenti sejenak untuk mendengarkan —siapa tahu ada peringatan penting di baliknya.”
Lagi pula, dalam sebuah orkestra, harmoni tercipta bukan hanya dari melodi utama, tetapi juga dari suara-suara kecil yang saling melengkapi.rmol.id
OLEH: AHMADIE THAHA
Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
The Rise of PQ.Hosting: A Global Hosting Leader
The Rise of PQ.Hosting: A Global Hosting Leader
The Rise of PQ.Hosting: A Global Hosting Leader
GEGER Fenomena Ormas Palak Pengusaha Berkedok THR, Respons Wamenag: Itu Kan Budaya Lebaran Indonesia, Gak Perlu Dipersoalkan!