IndonesiaToday.ID - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali dikritik.
Kebijakan Jokowi membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah 20 tahun ditutup, diduga melakukan pelanggaran.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, PP No 26/2023 yang diundangkan dan berlaku mulai 15 Mei 2023 ini mengandung pelanggaran di dalamnya.
Dia menyebutkan, isi pasal 3 dari PP No 26 tahun 2023 tersebut, wilayah izin usaha pertambangan adalah yang dikecualikan dalam pengelolaan hasil sedimentasi ini.
"CERI memprediksi, ke depan akan banyak komponen masyarakat dari aktifis pecinta lingkungan hidup semacam Walhi dan Greenpeace, kelompok nelayan, penduduk wilayah pesisir, Pemda dan pengusaha pasir laut akan menggugat produk PP ini ke Makamah Agung," tukas Yusri dalam keterangan resmi, dikutip, Senin (5/6/2023).
"Apalagi PP Nomor 26 tahun 2023 hanya menerapkan sanksi administratif untuk pelanggaran terjadi, tanpa ada sanksi pidana. Padahal jelas potensi pidananya ada," tukasnya.
Yusri pun menuding sebagian penjelasan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono saat konferensi pers pada hari Rabu (31/5/2023) sore lalu, terkesan agak menyesatkan publik, sebab susah dibantah jelas tujuan utama PP itu adalah untuk ekspor pasir laut.
"Sementara urutan prioritas terakhir untuk pemanfaatan pasir laut tujuan ekspor di Pasal 9 ayat 2 PP 26 tahun 2023 itu terkesan hanya untuk mengecoh publik, agar mengurangi tekanan terhadap kebijakan ekspor pasir laut," tukasnya.
Apalagi, ujarnya, terkait pertimbangan utama PP No 26/2023, Menteri Trenggono menyebutkan banyaknya permintaan pasir laut untuk kebutuhan infrastruktur proyek pemerintah, termasuk untuk reklamasi IKN.
"Ini adalah pernyataan yang menyesatkan publik, hanya untuk menutupi tujuan utamanya untuk ekspor pasir laut ke Singapura," jelas Yusri.
Kemudian, lanjut dia, Trenggono telah menyatakan jika nanti kebutuhan pasir laut dalam negeri sudah tercukupi, barulah boleh diekspor dan saat ini belum ada permintaan ekspor. Jika pun nanti ekspor, itu kewenangan Kementerian Perdagangan.
"Jelas keterangan Trenggono ini mencoba mengecoh, sebab Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan akan menerbitkan izin ekspor berdasarkan rekomendasi ekspor dari Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian KKP," cetusnya.
Kemudian, lanjut dia, sesungguhnya Singapura saat ini sangat membutuhkan banyak pasir laut dari Indonesia yang kualitasnya sangat baik, setelah beberapa negara telah menyetop ekspornya.
"Katanya harga kontrak Johor Baru ke JTC (Jurong Town Corporation) adalah sekitar US$15 per meter kubik, dan Vietnam sekitar US$35 hingga US$38 per meter kubik (The Free On Board) FOB Singapore. Menurut informasinya lagi, kebutuhan total pasir laut untuk kebutuhan reklamasi Singapura hingga tahun 2030, adalah sekitar 4 miliar kubik," ungkap Yusri.
Yusri menjelaskan, jika dibandingkan dari sisi kualitas pasir, jarak suplai, dan harga jual, sudah dapat dipastikan Singapura akan memilih pasir laut dari Kepulauan Riau, dibandingkan dari Vietnam, Kamboja, Myanmar, Thailand dan Filipina.
"Sehingga, jika negara kita bisa mengatur sistem satu pintu dalam menjual ke Singapura, yaitu dengan mekanisme negosiasi tanpa tender ke JTC dan BUMN tambang ditunjuk sebagai pimpinan konsorsium, maka target harga bisa mencapai berkisar US$18 hingga US$ 21 (Singapore Dollar) per meter kubik FOB Singapore," beber Yusri.
Tampaknya, kata Yusri, target itu sesuai dengan Keputusan Menteri KKP (KepmenKP) No 82/2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut Dalam Perhitungan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang ditanda tangani pada 18 September 2021.
Dalam KepmenKP itu, pada bagian lampiran, disebutkan pemanfaatan pasir laut untuk ekspor dipatok Rp 228.000 per meter kubik, sedangkan untuk kebutuhan dalam negeri dipatok Rp 188.000 per meter kubik.
"Adapun biaya dredging sekitar US$ 8 per meter kubik terima di Singapura, PNBP 35 % dari harga jual pasir laut, ditambah pajak ekspor," kupas Yusri.
Yusri menyebut, sebelumnya pemerintah telah menerbitkan aturan PP No 85/2021, di mana pada pasal 8 disebutkan PNBP untuk pasir laut sebesar 35 % dari harga jual.
"CERI mendapat info, pengusaha keberatan terkait tarif PNBP tersebut, mengingat tarif PNPB untuk tambang batubara ex PKP2B hanya 11% dan IUP hanya 8%, menurut mereka harga jual batubara jauh di atas harga pasir laut, mengapa mereka dibebankan cukup besar," jelasnya.
Sehingga, katanya, akibat ada potensi cuan besar di depan mata, maka tak heran banyak pejabat berlomba pasang badan dengan menyatakan ekspor pasir laut tidak merusak lingkungan dan malah untuk menyehatkan laut dan mengamankan alur pelayaran.
"Anehnya, termasuk bisa mengendalikan dampaknya hanya memakai GPS, apa benar demikian?" pungkas Yusri. [IndonesiaToday/cnbc]
Sumber: cnbcindonesia.com
Artikel Terkait
PPI Jepang Kritik Keras RUU TNI: Kami Khawatir Mahasiswa di Luar Negeri Enggan Kembali
Publik Curiga Ada Draft Selundupan dalam Rapat Revisi UU TNI di Hotel Mewah
Video Dokter Oky Pratama Mesra dengan Pria di Hotel Diduga Diambil 4 Tahun Lalu
Guru Besar Unhan Ajukan Uji Materi UU TNI ke MK