IndonesiaToday.ID - Pemerintahan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat boros. Pemborosan tersebut tercermin dari belanja negara dan rasio pajak yang sangat berjarak.
Dengan demikian, terpaksa pemerintah harus menarik utang untuk menutupi gap atau selisih tersebut.
Hal ini dipaparkan Faisal Basri, Ekonom Senior INDEF, dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia.
"Di era Jokowi belanja tidak turun, tapi tax ratio turun terus. Jadi makin menganga dan ini harus ditutup dengan utang. Utang oke, tapi untuk tujuan-tujuan yang produktif agar tak membebani generasi yang akan datang," ungkap Faisal Basri, dikutip Senin (5/6/2023).
Terbukti, mahalnya pembangunan pada era Jokowi terlihat dari data Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau indikator untuk mengukur rasio besaran modal yang dibutuhkan untuk menambah satu output atau keluaran ekonomi.
Sebagai perbandingan, angka rata-rata ICOR pada era Soeharto hingga SBY berkisar antara 4-4,6%. Sementara era Jokowi pada periode pertama sebesar 6,5%.
"Jadi, lebih dari separuh yang dibutuhkan tambahan modal untuk membangun satu jembatan atau 1 kilometer jalan. Misalnya. 2020 kan negatif, 2021-2022 7,3%. Super boros. Artinya nggak produktif," tegasnya.
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menorehkan utang Rp7.879 triliun, per Maret 2023, naik 3,2 kali lipat dari awal memerintah pada 2014.
Jumlah fantastis tersebut adalah utang publik, maka ini sama artinya, setiap kepala rakyat Indonesia saat ini menanggung utang Rp28,7 juta, naik dari posisi terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya Rp10 juta per kepala.
Utang era Presiden Jokowi memang terbaik dibandingkan pendahulunya. Dengan posisi Menteri Keuangan yang dijabat oleh orang yang sama, Sri Mulyani.
Rezim SBY yang memerintah pada 2004-2014 mampu menekan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sekitar 25% di akhir serah terima jabatan presiden pada 2014, dari awal memimpin 57%.
Sebaliknya, Jokowi membawa rasio utang publik melonjak ke angka 38% tahun ini. Sebagian besar kenaikan utang disumbang oleh kebutuhan masa pandemi.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menuturkan bahwa rasio utang terhadap PDB ditetapkan batasannya sebesar 60%. Saat ini, kata Yustinus, rasio utang telah menurun dari kisaran 40,7% menjadi 39,17%.
"Kita harus fair bahwa kita ada di batas yang wajar, termasuk dalam defisit (APBN)," tegasnya dalam Your Money Your Vote.
"Pemerintah tidak ugal-ugalan, justru ingin disiplin. Kita bicara soal nominal-nominal utang, kan kita lupa bagaimana penggunaannya. Kenapa kita perlu utang," katanya.
Tidak hanya itu, aset pemerintah juga meningkat tajam selama 2015-2022, yakni dari Rp 5.000 triliun menjadi Rp 11.000 triliun. Angka naik dua kali lipat.
Selain itu, belanja publik a.l. kesehatan, infrastruktur, pendidikan hingga perlindungan sosial juga meningkat.
"Waktu era Pak SBY selama 10 tahun Rp 3.753 triliun, itu menjadi Rp 8.920 triliun, artinya ada peningkatan," ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Yustinus juga mengungkapkan bahwa perhitungan Debt Service Ratio (DSR) yang digunakna Indonesia tidak lagi soal pinjaman pokok ditambah bunga dibagi ekspor.
Saat ini, perhitungan sudah berubah karena jumlah utang lebih tinggi. Perhitungan terbaru adalah pembayaran pokok plus cicilan bunga dibagi dengan pendapatan negara. [IndonesiaToday/cnbc]
Sumber: cnbcindonesia.com
Artikel Terkait
Kakak-Adik Masuk Islam, Seorang Cewek Ikrar Syahadat Air Matanya Langsung Mengalir
Rekrutmen Guru Sekolah Rakyat Akan Dibuka Sekitar April 2025
Bos Pelaku Manipulasi Takaran MinyaKita Ditangkap di Karawang
AS dan Israel Berencana Pindahkan Warga Palestina ke Afrika Timur