DI atas podium Menara Mandiri Jakarta, 8 April 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pesan yang mengguncang sektor perdagangan dan ekonomi nasional: "Siapa saja boleh impor, bebas, enggak usah ada kuota."
Instruksi ditujukan langsung kepada menteri-menterinya, Menko, Menteri Keuangan, Gubernur BI, bahkan Ketua Dewan Energi Nasional. Tujuannya jelas: melonggarkan jalur distribusi barang-barang kebutuhan rakyat yang selama ini terhambat oleh kuota impor yang ketat dan sarat kepentingan.
Prabowo ingin melawan kemacetan birokrasi, memangkas sistem yang selama ini dijadikan ladang rente oleh politisi dan oligarki dagang. Dalam banyak hal, semangat ini layak diapresiasi. Tetapi di balik niat baik, publik terpaksa bertanya: apakah Presiden membuka pintu kesejahteraan, atau justru memanggil kembali para koruptor lama untuk berpesta di ladang baru?
Luka Lama Bernama Impor
Publik belum lupa, tahun 2013, Presiden PKS saat itu, Luthfi Hasan Ishaaq, dipenjara karena menerima suap dari pengusaha daging sapi, Ahmad Fathanah, dalam kasus impor yang menghebohkan. Tahun 2019, giliran politikus PDIP dari Bali, I Nyoman Dhamantra, ditangkap KPK karena menerima suap Rp2 miliar dari pengusaha terkait kuota impor bawang putih. Nama lama seperti Nurdin Halid pun masih membekas dalam memori publik sebagai bagian dari rezim Bulog yang penuh konflik kepentingan dalam urusan impor beras pada awal 2000-an.
Kebijakan kuota memang kerap menjadi sumber korupsi. Siapa yang mendapat jatah impor adalah siapa yang punya akses ke kekuasaan. Lobi-lobi senyap, fee gelap, dan permainan harga menjadi praktik jamak dalam setiap musim impor.
“Korupsi dalam impor pangan di Indonesia bukan hanya masalah hukum, tapi sudah menjadi sistem politik dan ekonomi itu sendiri,” kata Prof. Sofian Effendi, pakar kebijakan publik dari UGM.
Impor Bebas: Solusi Cepat, Tapi Risiko Tinggi
Kini, Prabowo hendak memutuskan siklus rente ini. Dengan membebaskan siapa pun untuk mengimpor, maka tak ada lagi 'monopoli kuota’. Barang-barang kebutuhan rakyat seperti beras, gula, telur, buah buahan, daging, obat-obatan? bisa masuk pasar dengan lebih cepat dan murah. Secara teoritis, harga-harga akan turun, pasokan melimpah, dan inflasi terkendali.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa pencabutan kuota impor tidak selalu berjalan mulus. Negara-negara yang melakukannya tanpa pengawasan yang ketat seringkali menemui kegagalan besar.
Contoh Negara yang Gagal
India (2016): mencabut sejumlah kuota impor untuk bawang dan gula. Namun, langkah ini justru menekan petani lokal dan menciptakan lonjakan harga dalam jangka panjang karena ketergantungan pada pasokan luar. Pemerintah akhirnya mengembalikan beberapa kontrol untuk menstabilkan pasar.
Kenya (2019): Setelah mencabut kuota impor gula, Kenya mengalami invasi produk luar yang menghancurkan industri lokal. Kartel impor menguasai distribusi dan mempermainkan harga pasar. Petani tebu lokal kehilangan daya saing, dan ketimpangan harga semakin tajam.
Filipina (2019-2022): Pemerintah Filipina di bawah Presiden Duterte mencabut kuota beras dan menggantinya dengan sistem tarif terbuka melalui Rice Tariffication Law. Alih-alih menurunkan harga beras secara signifikan, kebijakan ini justru membuat petani lokal bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan harga impor dari Vietnam dan Thailand. Sementara harga beras di pasar juga tidak turun sepadan, distribusi tetap dikendalikan oligarki besar. Akhirnya, ketahanan pangan nasional justru terganggu.
Mesir (2016-2020): Dalam upaya menghapuskan kontrol dan kuota impor makanan pokok, Mesir membuka keran impor besar-besaran. Namun, langkah ini menyebabkan kerugian pada sektor pertanian domestik yang tak mampu bersaing. Ketergantungan tinggi terhadap impor memperburuk defisit anggaran dan menyebabkan krisis pasokan ketika harga global naik. Saat pandemi, Mesir mengalami kekurangan pangan karena tidak memiliki cadangan lokal yang kuat.
Contoh Negara yang Sukses Menata Pengawasan
Selandia Baru membuka keran impor pangan secara luas sejak awal 1990-an sebagai bagian dari reformasi ekonominya. Namun, mereka melengkapinya dengan sistem pengawasan ketat berbasis digital dan audit independen. Semua importir wajib terdaftar dalam sistem nasional dan tunduk pada pelaporan berkala serta inspeksi acak. Pemerintah juga tetap memberikan insentif besar pada produsen lokal agar tetap kompetitif melalui riset, subsidi, dan peningkatan produktivitas. Hasilnya: pasar terbuka, harga stabil, dan produsen lokal tidak tersingkir.
Lalu, Chile menghapus sebagian besar kuota impor namun mempertahankan kontrol lewat sistem smart monitoring. Pemerintah memanfaatkan big data untuk memantau volume dan harga barang yang masuk secara real-time. Mereka juga menerapkan transparansi total: daftar importir dan data impor bisa diakses publik. Sistem ini mencegah praktik kartel dan memastikan pemain kecil tetap bisa bersaing.
Siapa yang Diuntungkan?
Ketika pasar dibiarkan bebas tanpa kuota dan regulasi, maka yang paling cepat masuk adalah mereka yang sudah punya modal besar, jaringan luar negeri, dan logistik kuat. Sederhananya: yang untung tetap itu-itu saja: para pemain lama, kartel pangan, dan konglomerat dagang.
Petani kecil di Grobogan tidak bisa bersaing dengan beras murah dari India dan Vietnam. Peternak ayam rakyat di Blitar tak mampu menghadapi banjir daging beku dari Brasil. Nelayan di Maumere akan terpinggirkan jika ikan-ikan beku dari China membanjiri pelabuhan.
“Pasar bebas hanya adil ketika negara hadir dengan kuat untuk melindungi yang lemah, bukan malah membiarkan mereka disingkirkan oleh yang kuat,” ujar alm. Faisal Basri, ekonom senior dari Universitas Indonesia.
Di Mana Peran Negara?
Jika benar niat Presiden adalah memperjuangkan kemudahan akses rakyat terhadap kebutuhan pokok, maka kebijakan ini harus dibarengi dengan:
Sistem pengawasan digital real-time atas seluruh aktivitas impor.
Transparansi daftar importir dan volume impor per komoditas.
Peta jalan perlindungan terhadap produsen lokal, termasuk subsidi dan peningkatan produktivitas.
Reformasi total Badan Pangan Nasional dan Bulog sebagai pengendali cadangan dan stabilisator pasar.
UU Anti Mafia Impor dan transparansi logistik pelabuhan.
Tanpa langkah-langkah tersebut, kebijakan impor bebas hanya akan menjadi lahan basah bagi predator ekonomi yang selama ini bersembunyi di balik papan nama partai, perusahaan, dan ormas dagang.
Antara Harapan dan Kewaspadaan
Presiden Prabowo menawarkan solusi cepat untuk rakyat: akses barang kebutuhan pokok tanpa hambatan kuota. Sebuah langkah progresif di atas niat baik. Tetapi sejarah panjang korupsi impor di Indonesia dan kegagalan beberapa negara berkembang menjadi pengingat pahit: kebijakan baik tanpa perlindungan justru mengundang bencana.
Rakyat menunggu bukan hanya pintu yang dibuka, tapi pagar yang diperkuat. Agar kesejahteraan benar-benar bisa masuk, dan korupsi tak lagi punya celah untuk menyusup.
Kita semua berharap Presiden Prabowo tidak hanya mempermudah rakyat mendapatkan sembako, tapi juga membebaskan negeri ini dari racun kronis: korupsi berjubah impor.rmol.id
OLEH: PAUL EMES
Pemerhati Kebijakan Publik.
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Soal Tuduhan Ijazah Palsu, Relawan Siap Bentuk Tim Advokasi Bela Jokowi
Revelino Tuwasey, Ayah Biologis Anak Lisa Mariana yang Geram Darah Dagingnya Diklaim Anak Ridwan Kamil oleh Ibunya
Nah Lho! Nangis Layaknya Anak Kecil, Kabid DLH Tangsel Mewek usai Ditahan Kasus Korupsi Sampah
Forum Purnawirawan TNI Tuntut Kembali ke UUD 1945 Asli Hingga Copot Gibran