BAYANGKAN, sebuah negara besar dengan 270 juta penduduk, ribuan pulau, ratusan suku, beragam bahasa, dan… satu ijazah yang mencurigakan. Begitulah Indonesia hari ini: hampir kehabisan energi nasionalnya demi membuktikan keaslian selembar kertas ukuran A4, yang konon milik mantan Presiden dua periode, Joko Widodo.
Ijazah ini, yang mestinya sederhana -- dokumen sakral untuk tiap warga negara dalam membuktikan dirinya “pernah sekolah”-- telah berubah menjadi jimat politik, artefak investigasi, bahkan bahan bakar nasionalisme baru: berbagai demo, tuntutan di sidang pengadilan, dan investigasi forensik digital.
Terakhir, Sentana Podcast memantik bara api itu kembali. Dengan membawa hasil analisis forensik wajah, mereka mengklaim ada ketidaksesuaian antara wajah di ijazah dengan wajah Pak Jokowi. Lantas, wajah yang dipasang, namanya siapa? Bukan Joko Widodo, melainkan Dumatno Budi Utomo, yang orangnya masih hidup.
Ini sebuah nama yang terdengar begitu Jawa, begitu biasa, namun dalam konteks ini: begitu luar biasa. Roy Suryo -- mantan Menteri dan self-proclaimed pakar telematika -- lantang bersuara dengan klaim membawa bukti baru kepalsuan ijazah Jokowi. Kalau sudah Roy turun gunung, biasanya sinyalnya kuat: minimal sinyal makin gaduh nasional.
Dalam analisis terbarunya, Roy menggunakan teknologi face comparison analysis berbasis kecerdasan buatan untuk mendeteksi ketidakcocokan visual. Ia memakai metode biometric facial recognition yang mengukur jarak antar titik-titik khas wajah (seperti sudut mata, posisi hidung, dan garis rahang) lalu membandingkannya dengan database citra wajah Jokowi di masa muda.
Teknologi ini, yang dalam dunia forensik disebut juga vector-based facial mapping, bukan teknologi recehan. Ia biasa dipakai di dunia kepolisian internasional untuk mengidentifikasi tersangka lewat rekaman CCTV buram. Tapi di Indonesia, teknologi canggih ini sekarang dipakai memburu kebenaran sejarah satu dokumen kelulusan.
Roy tak hanya mengecek keakuratan aplikasi pada kasus Jokowi, tapi juga membuktikannya pada beberapa wajah lain. Hasilnya? Roy menyimpulkan, dengan parameter similarity score tertentu, bahwa wajah pada ijazah yang diedarkan kader sebuah partai pendukung Jokowi itu mismatched alias tidak cocok secara biometrik dengan wajah asli Jokowi.
Orang-orang terhenyak dengan temuan ini. Namun, tentu saja, negara hukum tak bisa hidup hanya dari analisis perorangan atau podcast. Maka, jalan peradilan pun ditempuh. Gugatan demi gugatan pun disidangkan. Sebagian sudah diputus, sebagian lagi masih bergulir. Bayangkan betapa hebatnya negara ini: sampai perlu sidang bertahun-tahun hanya untuk membuktikan keaslian satu ijazah.
Sekarang, mari berandai-andai: bagaimana jika ijazah itu benar-benar palsu?
Pertama, ini akan menjadi tamparan keras -- bukan hanya untuk Presiden, tetapi untuk seluruh ekosistem politik, birokrasi, hingga rakyat yang memilihnya dua kali dengan penuh percaya diri dan harapan. Legitimasi pemerintahan pun akan roboh, seperti jembatan gantung yang talinya digigiti tikus.
Bayangkan: undang-undang yang diteken, kebijakan yang dibuat, proyek yang diresmikan, bahkan amplop bansos yang dibagikan -- semua bisa dipertanyakan keabsahannya. Logikanya, jika presiden yang menandatangi semua keputusan untuk program itu tidak sah karena ijazahnya palsu, maka kegiatan turunannya ikut palsu.
Kedua, ini akan membuka pertanyaan lebih besar: bagaimana mungkin sebuah negara sebesar ini bisa ditipu selama dua periode penuh? Di mana sistem verifikasi kita? Apakah saat proses pendaftaran jadi presiden, KPU hanya melihat foto dan mengucapkan, “Aman, cakep, lanjut!”? Ataukah, seperti biasa, semuanya tenggelam dalam lautan politik transaksional dan budaya “asal bapak senang”?
Ketiga, ini akan menjadi pelajaran sejarah yang mahal. Jika hari ini kita tidak serius menjaga integritas orang yang akan menjadi pemimpin kita, besok lusa kita mungkin dipimpin oleh siapa saja: mungkin oleh admin grup WhatsApp keluarga, atau seleb TikTok yang viral karena joget sambil mengutip Pancasila setengah hafal.
Namun, mari juga reflektif: energi besar yang dihabiskan jutaan anak bangsa untuk satu lembar ijazah ini mungkin juga menunjukkan sesuatu yang positif. Kita belum sepenuhnya mati rasa. Kita masih peduli terhadap harkat, martabat, dan kejujuran.
Ambil saja hikmah di balik kasus ijazah Jokowi ini. Negara yang masih bisa ribut tentang ijazah adalah negara yang masih ingin bermoral. Bandingkan dengan negara yang bahkan sudah tidak peduli siapa yang memimpin, asal nasi goreng tetap tersedia.
Karenanya, investigasi ini, walau tampak berlarut-larut karena teknologinya juga baru muncul sekarang, sebenarnya adalah momen emas: kesempatan untuk memperbaiki sistem pendidikan, reformasi administrasi, memperketat verifikasi capres, dan -- jika perlu -- memperkenalkan kursus kilat tentang “Cara Membedakan Ijazah Asli dan Fotokopian Warteg.”
Sebab di ujung hari, bangsa ini bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi tentang apakah kita dipimpin dengan kejujuran, bukan penuh kepalsuan.
Satu lembar ijazah, satu bangsa resah hampir satu dasawarsa. Mungkin inilah harga yang harus kita bayar, karena pernah ada sebagian kita yang lebih suka membiarkan moralitas dijual kiloan.
OLEH: AHMADIE THAHA
Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al Quran
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Rumah Jokowi Mau Digeruduk soal Tudingan Ijazah Palsu, Hercules Mendadak Muncul di Solo
Banyak yang Tersinggung dengan Walid di Serial Bidaah, Begini Kata Ustadz Abdul Somad
Heboh Isu Ijazah Palsu, Dedengkot Preman Hercules Pasang Badan: Enggak Usah Cari Masalah
Rektor UGM Ova Emilia Absen Pertemuan TPUA soal Ijazah Jokowi, Masalah Segenting Ini kok Dihindari!