BEDA KELAS: 'Ijazah Jokowi Tak Boleh Difoto, Ijazah Mohammad Hatta Dipajang di Universitas Belanda'
Di era digital yang mengedepankan transparansi dan keterbukaan, peristiwa yang terjadi di depan rumah Presiden RI ke-7, Joko Widodo (JkW), di kawasan Sumber, Solo, pada Rabu sore (16/04/2025) justru menjadi anomali mencolok.
Awak media yang biasa berjaga di lokasi tersebut dipanggil masuk, tapi hanya dengan satu syarat ganjil: semua kamera, ponsel, dan alat rekam harus disita lebih dulu.
Prosedur ini, yang bisa disimak lengkap di kanal YouTube Liputan-6 SCTV (tautan ini), dinilai sebagai langkah mundur kebebasan pers.
Seorang wartawan, Ichsan Nur Rosyid, yang turut hadir, mengaku hanya "melihat sekilas" dokumen yang disebut-sebut sebagai ijazah JkW.
Tanpa rekaman visual, tanpa foto, tanpa bukti otentik.
Ia hanya bisa menyebut bahwa dokumen tersebut "mirip" dengan yang selama ini beredar di media sosial.
Klaim yang justru makin menebalkan keraguan publik.
Nostalgia Kelam Rezim Tertutup
Pola ini mengingatkan kita pada masa kelam pers Indonesia di bawah rezim Orde Baru, ketika kontrol informasi begitu ketat.
Wartawan dibatasi, liputan disensor, bahkan media bisa dibredel hanya karena memberitakan kebenaran yang tak sesuai dengan selera penguasa.
Ironisnya, praktik semacam ini justru kembali terlihat di era yang seharusnya menjunjung keterbukaan informasi.
Situasi ini bahkan bisa disandingkan dengan media di bawah rezim totaliter seperti Jerman Timur sebelum bersatu atau Uni Soviet era Stalin.
Semua dikendalikan. Wartawan bukan penyampai kebenaran, melainkan perpanjangan tangan kekuasaan.
Ketika Wartawan Cuma Bisa Menghafal
Tanpa bukti visual, kesaksian wartawan jadi rapuh dan berbahaya.
Tanpa dokumentasi, liputan bisa menjadi bias, subyektif, dan penuh persepsi. Ini bukan lagi jurnalisme, tapi sekadar obrolan warung kopi.
Bahkan jawaban JkW soal alasan tak lagi memakai kacamata — karena minusnya kecil dan kacamatanya pecah — terdengar seperti pengalihan yang tak perlu.
Yang lebih ironis, beberapa jam sebelumnya, sekelompok masyarakat dari Tim Pemburu Ijazah Palsu JkW (TPIPJ) dan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang hendak memverifikasi ijazah secara langsung justru ditolak.
Mereka ditantang ke pengadilan jika ingin melihat bukti. Sebuah sikap yang justru mempertebal kecurigaan publik alih-alih menjawabnya.
Lihat Perbedaan: Ijazah Bung Hatta Justru Dibanggakan
Bandingkan dengan perlakuan terhadap dokumen akademik milik Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia sekaligus Bapak Proklamator.
Setelah menempuh studi di Nederlandse Handels-Hoogeschool (NHH) yang kini menjadi Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda, ijazah Bung Hatta justru dipajang dengan bangga di perpustakaan kampus tersebut.
Ijazah Drs. Mohammad Hatta bukan hanya terbuka untuk umum, tapi juga menjadi simbol penghormatan internasional terhadap kontribusi beliau bagi kemerdekaan Indonesia dan dunia.
Beliau diakui sebagai alumni bersejarah, bukan hanya oleh bangsa ini tapi juga oleh universitas ternama Eropa.
Ketertutupan yang Membagongkan
Pertanyaannya sederhana: jika tidak ada yang ditutupi, kenapa harus ada penyitaan alat rekam? Kenapa hanya boleh dilihat sekilas?
Kenapa publik dan pengadilan dijadikan tameng untuk hal yang semestinya bisa dibuka dengan gamblang?
Kita tidak butuh UU Keterbukaan Informasi Publik atau UU Perlindungan Data Pribadi sebagai alasan untuk menutup-nutupi bukti pendidikan seorang kepala negara.
Kalau memang asli dan membanggakan, maka biarkan publik melihat, bukan cuma mendengar katanya-katanya.
Karena pada akhirnya, transparansi adalah hak rakyat.
Dan di tengah kemajuan zaman, ketertutupan yang absurd justru membagongkan.
#AdiliJokowi #MakzulkanFufufafa
***
Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen
Jakarta, Kamis, 17 April 2025
Artikel Terkait
Viral! Tulisan Lorem Ipsum di Tugu Titik Nol IKN Jadi Sorotan Warganet, Asli Atau Editan?
Cerita Mentan Amran Pernah Ditegur Wapres Gara-Gara Tutup Perusahaan Mafia Beras
Macet di Tanjung Priok Bikin Resah, Pramono Minta Maaf
Ridwan Kamil Laporkan Lisa Mariana ke Bareskrim