JOKOWI: Lebih Baik Ngaco Daripada Ngaku

- Sabtu, 19 April 2025 | 15:30 WIB
JOKOWI: Lebih Baik Ngaco Daripada Ngaku


JOKOWI: 'Lebih Baik Ngaco Daripada Ngaku'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Ada satu kalimat yang tampaknya pas menggambarkan sikap  Joko Widodo dalam menghadapi isu ijazahnya yang sempat mengguncang ruang publik: lebih baik ngaco daripada ngaku. 


Kalimat ini tidak hanya mencerminkan arah respons yang inkonsisten, namun juga mengandung semacam refleksi keengganan seorang pemimpin untuk berhadapan langsung dengan substansi kritik.


Isu mengenai keabsahan ijazah Jokowi sejatinya telah lama bergulir. 


Namun, baru menjadi bola panas ketika permintaan untuk memperlihatkan dokumen akademiknya diajukan secara resmi dalam jalur hukum dan kemudian dipicu kembali oleh sikap publik yang menuntut transparansi. 


Alih-alih menjawab dengan lugas dan tegas, Jokowi memilih untuk menjawab dengan nyinyir. 


Ia menyebut isu itu sebagai “gorengan murahan”, “fitnah”, dan “tidak masuk akal”. 


Satu paket respons emosional yang lebih cocok digunakan oleh seorang pengguna media sosial ketimbang oleh kepala negara.


Namun publik, tentu saja, tak gampang dibungkam dengan label-label. Karena substansi bukan soal gorengan, tapi transparansi. 


Maka tuntutan pun berlanjut: Kalau memang ijazah itu asli, tunjukkan. Kalau tidak ingin menunjukkan, apa yang disembunyikan?


Respons berikutnya justru makin membingungkan. Jokowi akhirnya menunjukkan ijazahnya, tapi dengan syarat: tidak boleh difoto. 


Seolah-olah ijazah itu dokumen rahasia negara yang hanya bisa disentuh oleh mata yang terpilih. 


Padahal, yang ditanyakan publik bukan sekadar “ada atau tidak”, melainkan keaslian dan keterverifikasiannya. 


Membatasi dokumentasi hanya menguatkan kecurigaan: mengapa seorang mantan presiden takut ijazahnya difoto?


Sebelumnya, Jokowi sempat mengatakan bahwa ia tidak punya kewajiban hukum untuk memperlihatkan ijazahnya kepada publik. 


Bahkan ia mempertanyakan: hak apa yang dimiliki publik untuk meminta hal tersebut? Ini adalah puncak dari absurditas dalam demokrasi. 


Seorang pejabat publik, apalagi ex-presiden, pernah memegang mandat dari rakyat. 


Kredibilitasnya harus dibuka selebar-lebarnya untuk diperiksa, diuji, dan dikritisi. Karena tanpa itu, demokrasi akan berubah menjadi sistem kepercayaan buta—mirip seperti dogma.


Pernyataan bahwa ia tidak punya kewajiban hukum bisa saja benar secara sempit. 


Tapi bukankah semangat kepemimpinan adalah juga tanggung jawab moral? Bukan soal wajib atau tidak wajib, tapi tentang mau atau tidak mau. 


Dan sikap Jokowi menunjukkan satu hal yang jelas: ia lebih memilih mempertahankan misteri ketimbang menjawab secara jujur.


Barangkali karena itulah, publik mulai membaca Jokowi bukan lagi sebagai tokoh yang jujur, sederhana, dan transparan seperti narasi yang dibangun sejak 2014, melainkan sebagai figur yang lihai menghindar dari pertanggungjawaban, sambil membungkus semuanya dalam citra populis yang menenangkan. 


Ia bisa tampil santai di tengah badai, tapi diam ketika publik menuntut kebenaran.


Di titik inilah frasa “lebih baik ngaco daripada ngaku” menjadi relevan. Sebab dalam setiap peluang untuk menjelaskan, yang dipilih justru jalan zig-zag. 


Dalam setiap kesempatan untuk membuka, yang ditawarkan justru penutupan. Maka bukan kebenaran yang dimenangkan, melainkan kepalsuan yang dipelihara dengan retorika.


Jika dulu masyarakat percaya bahwa Jokowi adalah simbol kesederhanaan, hari ini banyak yang mulai melihatnya sebagai sosok yang melindungi masa lalunya dengan kabut ketidakterbukaan. 


Dan sejarah—seperti yang selalu diingatkan oleh waktu—tak pernah ramah kepada mereka yang lebih memilih berkelit daripada mengakui.


***


Sumber: FusilatNews

Komentar