Ijazah Yang Tak Pernah Diuji, Nurani Yang Tak Pernah Menjawab

- Selasa, 22 April 2025 | 12:50 WIB
Ijazah Yang Tak Pernah Diuji, Nurani Yang Tak Pernah Menjawab


'Ijazah Yang Tak Pernah Diuji, Nurani Yang Tak Pernah Menjawab'





UGM akhirnya bicara, tapi bukan dengan data. JkW akhirnya muncul, tapi bukan dengan keberanian. 


Yang hadir hanyalah skripsi cacat, protokol absurd, dan rakyat yang makin paham bahwa yang hilang bukan hanya ijazah—tetapi rasa malu, harga diri dan akal sehat.


Selembar ijazah telah menguji bukan hanya seorang tokoh, tapi seluruh bangsa. 


Sebuah dokumen akademik yang seharusnya sederhana, kini menjadi pusaran kontroversi paling politis dalam sejarah pendidikan tinggi di negeri ini. 


Universitas Gadjah Mada, sebagai kampus yang selama ini dihormati sebagai simbol nalar dan integritas, tiba-tiba terlihat seperti institusi yang kehilangan keberanian. Ia tidak diam, tapi juga tidak menjawab.


Ketika perwakilan rakyat datang yang wakili para alumninya menuntut klarifikasi, UGM membatasi ruang dialog hanya dalam satu jam dan lima orang tamu, digeser dari Balairung ke ruang kecil di Fakultas Kehutanan. 


Skripsi yang ditampilkan pun cacat: tidak ada pengesahan penguji, tidak ada tanggal sidang, dan bahkan font yang digunakan datang dari teknologi masa depan. 


Narasi "34 bukti akademik" yang dulu disebut-sebut, ternyata tinggal mitos dalam dokumen yang tak kunjung hadir, hadirpun "tesis" yang hanya ada di UGM untuk gelar sarjana S1, di kampus lain tesis untuk meraih gelar S2.


Di sisi lain, sang mantan presiden pun akhirnya menunjukkan dirinya. Tapi bukan untuk membuka tabir, melainkan menambah tirai. 


Di hadapan wartawan, ia memberlakukan protokol mirip Orde Otoriter Komunis: HP dikumpulkan, kamera dilarang, tidak boleh merekam. 


Yang ditampilkan hanya selembar ijazah, sepintas lalu, dan ketika ditanya lebih lanjut, jawabannya justru membingungkan.


Yang ditolak bukan hanya verifikasi, tapi juga kepercayaan publik. Sebab kebenaran yang tak bisa diuji akan selalu meninggalkan jejak ketidakjujuran. 


Sementara itu, para pembela sang tokoh sibuk menyiapkan argumen legal. Tapi hukum bukan pengganti nurani. Dan institusi pendidikan bukan ruang sandiwara.


Kita menyaksikan bagaimana sebuah kebohongan, jika dibiarkan, memerlukan kebohongan lain untuk menutupinya. 


Dan begitulah seterusnya, hingga ia menjadi jaring yang membelit pelakunya sendiri. Seperti peringatan yang menggema dari masa ke masa:


"Sesungguhnya kebohongan akan terus menuntut kebohongan lain untuk menutupinya, hingga seseorang terjebak dalam jaring yang ia buat sendiri."


George Orwell pun pernah menulis,

"In a time of deceit, telling the truth is a revolutionary act."

(Di masa penuh tipu daya, mengatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner.)


Namun revolusi dalam konteks ini bukan soal turun ke jalan.


Ia dimulai dari keberanian satu kampus untuk berkata jujur, dari satu pemimpin untuk menunjukkan tanggung jawab, dari satu rakyat untuk tidak lagi tunduk pada absurditas kuasa.


Dan hari-hari ini, publik perlahan mulai paham. Yang dicari bukan sekadar legalitas, tapi kejujuran. Yang dipertanyakan bukan hanya dokumen, tapi niat. 


Dan yang hilang bukan hanya selembar ijazah—melainkan rasa hormat terhadap logika, hukum, dan pendidikan itu sendiri.


Jika UGM dan JkW memilih diam, maka sejarah yang akan bersuara. Dan suara sejarah akan menemukan jalannya sendiri, hanya soal waktu.


***


Komentar