Kebut Revisi UU TNI di DPR: Minim Partisipasi Publik, Anggota Dewan Cuma Jadi Tukang Stempel?

- Kamis, 20 Maret 2025 | 16:20 WIB
Kebut Revisi UU TNI di DPR: Minim Partisipasi Publik, Anggota Dewan Cuma Jadi Tukang Stempel?




NARASIBARU.COM - Rapat Paripurna DPR akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang TNI pada Kamis (20/3) siang.


Pengesahan ini terjadi setelah pembahasan di tingkat I antara Komisi I DPR dan pemerintah pada Selasa (18/3). Meski disetujui semua fraksi, RUU TNI menuai kritik tajam.


Masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa menolak. Tagar #TolakRUUTNI bahkan sempat trending dengan lebih dari 300 ribu twit.


Ketua DPR Puan Maharani memimpin sidang. Ia meminta persetujuan dari seluruh fraksi.


“Apakah Rancangan Undang-Undang TNI dapat disetujui menjadi undang-undang?” tanyanya.


Serempak, para anggota dewan menjawab, “Setuju!”


Dari 293 anggota yang hadir, termasuk Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir, tak ada yang menolak.


Sejak awal, revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menuai banyak sorotan. DPR dinilai abai terhadap prinsip demokrasi dan partisipasi publik.


Pembahasan dilakukan secara tertutup, terburu-buru, dan minim transparansi. Salah satu contohnya, rapat Komisi I DPR dan Kementerian Pertahanan di Hotel Fairmont Jakarta pada 14-16 Maret 2025.


Rapat eksklusif ini memperkuat kekhawatiran publik: revisi UU TNI bisa membuka jalan bagi kembalinya Dwi Fungsi TNI.


Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menegaskan kritiknya. Menurutnya, DPR gagal menjalankan fungsi kontrol.


Ia tidak melihat ada dinamika diskusi. Tidak ada perdebatan pro dan kontra yang seharusnya terjadi.


"Sidang-sidang ini hanya mengarahkan fraksi DPR untuk menyepakati keputusan yang sudah disiapkan sebelumnya," kata peneliti Formappi, Lucius Karus, kepada Suara.com, Kamis (20/3/2025).


Tiga Masalah Proses Pembentukan RUU TNI


Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengkritik penetapan RUU Revisi UU TNI sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Setidaknya ada tiga masalah utama dalam prosesnya.


Pertama, menurut PSHK RUU ini disahkan dalam Rapat Paripurna 18 Februari 2025 tanpa mengikuti prosedur perubahan agenda sesuai Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020. 


Seharusnya, perubahan agenda diajukan secara tertulis minimal dua hari sebelumnya.


Kedua, masuknya RUU ini ke Prolegnas tidak melalui pertimbangan Badan Legislasi DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 66 huruf f Tata Tertib DPR. 


Hal ini menyalahi prinsip akuntabilitas karena urgensi RUU ini belum dibandingkan dengan prioritas lain seperti RUU Perampasan Aset atau RUU Masyarakat Hukum Adat.


Badan Legislasi DPR juga tidak mensosialisasikan perubahan ini kepada publik sesuai tugasnya dalam Pasal 66 huruf l Tatib DPR.


Ketiga, proses penyusunannya cacat prosedur. Surat Presiden yang menunjuk perwakilan pemerintah sudah terbit pada 13 Februari 2025, sebelum RUU ini masuk Prolegnas pada 18 Februari 2025. Seharusnya, tahapan perencanaan mendahului penyusunan.


RUU ini juga bukan bagian dari carry over DPR periode sebelumnya, sebagaimana ditegaskan dalam Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025.


Pasal 71A UU 15/2019 menyatakan bahwa carry over hanya berlaku jika RUU telah memasuki tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), yang tidak terjadi pada periode sebelumnya. Dengan demikian, seharusnya RUU ini harus dibahas dari nol.


Tak hanya itu, draf RUU ini tidak pernah dipublikasikan secara resmi oleh DPR, sehingga publik kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi. 


Kritik masyarakat bahkan disalahkan dengan klaim bahwa draf yang beredar berbeda dari yang dibahas.


Pembahasan RUU ini pun dilakukan di hotel dengan pengamanan ketat, semakin membatasi akses publik. 


Meski menuai banyak kritik dan cacat prosedur, Komisi I DPR tetap bersikeras melanjutkan pembahasan, padahal masa pembahasan maksimal hanya tiga kali masa sidang.


DPR Hanya Tukang Stempel


Lucius Karus juga menegaskan bahwa  rapat dari Januari hingga Maret hanyalah formalitas.


"DPR sekadar tukang stempel. Itu istilah kasarnya. Rapat-rapat legislasi hanya formalitas belaka," tegasnya.


Sejak awal, kekhawatiran bahwa DPR 2024-2029 hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah sudah muncul. 


Komposisi DPR yang didominasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi salah satu penyebabnya. Hampir semua fraksi mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.


Bahkan PDIP, yang bukan bagian dari KIM, tak menunjukkan sikap oposisi yang tegas. 


"Fraksi-fraksi DPR ada dalam cengkeraman kepentingan kekuasaan. Mereka tak berdaya untuk menolak," lanjut Karus.


Proses revisi UU TNI yang penuh kejanggalan memunculkan pertanyaan: siapa yang sebenarnya diwakili oleh anggota dewan?


"Kalau rakyat menolak revisi ini, lalu siapa yang mereka wakili?" kata Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro.


Menurutnya, suara masyarakat sipil dianggap angin lalu oleh para legislator.


Agung juga memperingatkan bahwa undang-undang yang dibahas secara problematik hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari.


"Aturan seperti ini rentan digugat. Bisa judicial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi," ujarnya.


Ia mencontohkan UU Cipta Kerja yang dibuat secara kilat dan minim partisipasi publik. Akibatnya, aturan ini berkali-kali digugat ke MK dan memicu gejolak sosial.


"Berkaca dari itu, seharusnya potensi masalah bisa dicegah sejak awal. DPR sebaiknya mengkaji ulang revisi UU TNI sebelum disahkan," tambahnya.


Agung berharap ke depan proses legislasi lebih terbuka.


"Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pembahasan undang-undang harus lebih transparan, demokratis, dan berkualitas," pungkasnya.


Sumber: Suara

Komentar